Saturday, January 25, 2014

[KU-025/2014] Jonan, Jokowi dan Jusuf Kalla

KOMPASIANA: Kalau kita perhatikan, liputan utama harian Kompas dari hari ke hari membahas hal utama yang sama yaitu masalah yang terkait dengan moralitas, korupsi, keberagaman, penegakan hukum dan juga kepemimpinan bangsa. Masuk ke bagian lain ke bagian opini, tulisan-tulisan yang ada pun sama terkait dengan hal-haldi atas.

Surat kabar ini tampaknya sangat gelisah melihat kondisi bangsa Indonesia, tampaknya sebagai pengawal demokrasi, pengawal kebebasan, para elit media tersebut melihat sesuatu hal yang mencemaskan yang kalau tidak direspon dengan cepat dan tepat dapat menghambat kebebasan, keadilan dan kesejahteraan bangsa.

Berbagai pandangan di kemukan oleh berbagai kalangan di harian tersebut baik ahli politik, hukum, ekonomi, sosial, sejahrawan termasuk juga tokoh-tokoh agama. Mereka semua khawatir dengan cara pemerintah mengelola negara ini, mereka cemas dan juga gemas dengan cara pemimpin nasional mengatasi masalah. Masalah-masalah yang ada, tidak diselesaikan, cenderung didiamkam bahkan kalau bisa dihindarkan.

Kasus marahnya Harrison Ford (HF) kepada Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan adalah sebuah kenyataan yang harus dipahami oleh penggelola negara ini, bahwa kekhawatiran, kegelisahan dan kegemasan pun akan memuncak ketika kenyataan ada di depan mata. Sebagai bangsa mungkin kita bisa tersulut oleh kepongahan HF di dalam menyatakan pandangannya, namun dibalik kepongahan itu ada sebuah kebenaran yang terucap, ada sebuah kegelisahan terpendam dan jawaban atas pertanyaan aktor dunia tersebut mungkin di respon dengan begitu formal, standar, basa-basi model pejabat pemerintah pada umumnya.

HF, tentu bukan orang Indonesia,yang terkadang rasa tidak enaknya, ewuh pakewuhnya begitu besar apalagi menghadapi seorang pejabat. Sebagai aktor kawakan yang ditugaskan didalam pembuatan film tentang perlindungan hutan, film dokumentar berjudul “Years of Living Dangerously” tampaknya ia tidak habis mengerti ketika pertanyaannya tentang mengapa para perambah hutan di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dibiarkan saja oleh negara merusak hutan. 

HF, tampaknya ingin jawaban yang lugas, misalnya “yah akan kami larang, akan kami tangkap”, bukan jawaban bijaksana yang terlalu luas, mutar-mutar yang tidak ia pahami. Sebagai orang Amerika, mungkin ia merasa di bodohi atau ia merasa jawaban sang menteri adalah jawaban basa-basi, karena kenyataannya jauh dari apa yang ia lihat. Sebagai Menteri, Zulkifli Hasan tampaknya ingin mendapat pengertian dari pewawancara bahwa banyak sekali faktor yang harus diperhatikan sebelum menangkap para perambah hutan tersebut.


Inilah khas penyelenggara negara kita, senangnya membiarkan sesuatu, membiarkan masalah, sama juga ketika kita membiarkan para pedagang kaki lima mengkooptasi jalan dibanyak tempat di negari ini dan ketika kenyataannya mereka semakin banyak, semakin membesar besar kita pun bingung menyelesaikannya. Para perambah hutan pun tampaknya demikian.

Coba, juga kita tengok masalah penjara di Indonesia, menjadi begitu rumit masalahnya ketika dari dulu segala kebrengsekan di biarkan ada disana, maka ketika Deny Indarayana dengan semangat 45 nya mencoba memperbaiki penjara, ia kebingungan, keteteran mungkin juga stres dengan berbagai masalah yang dihadapinya, siapa bisa menyangka lapas Narkoba Cipinang, sebagai tempat menahan orang-orang yang melakukan penyalahgunaan narkoba, bisa menjadi tempat membuat narkoba? Juga tempat bercinta?. Nyatanya tidak ada yang tidak bisa dilakukan para napi, selama mereka mau mengeluarkan uang.

Ada banyak hal yang mencemaskan di negeri ini, namun para pengelola negara meresponnya sebagai hal yang biasa, seolah bangsa ini berjalan hanya sampai batas usia mereka, seolah tidak ada generasi penerus yang tidak akan menerima hal negetif perilaku mereka.

Mereka tidak ada yang gelisah dan ketika gelisahan itu terlihat di luar, di luar struktur-struktur kekuasaan negara, mereka tidak menggangapnya. Nyatanya gelisahan itu bukan hanya milik kita orang Indonesia, seorang sekelas HF bisa melihat hal tersebut dan ia marah. Dapat dibayangkan bagaimana emosionalnya HF seandainya ia diberikan kesempatan untuk menyelami berbagai kehidupan bangsa yang lainnya, misal kehidupan birokrasi negara, kehidupan penegakan hukum, kehidupan keberagaman di negara ini. Ia mungkin akan sesak, mungkin juga stress, bagusnya ia bukan orang Indonesia, yang terbiasa melihat ketidakberesan berlangsung dinegara ini.

Menyelesaikan Masalah
Di Harian Kompas, Jumat tanggal 13 September, di halaman 4 ada berita tentang diskusi yang bertajuk “Pemimpin Yang Menyelesaikan Masalah” dari tajuk diskusinya jelas bahwa fungsi pemimpin adalah menyelesaikan masalah. Nyatanya begitu banyak masalah yang dibiarkan berkembang biak di Negara ini.

Seharusnya yang kesal, emosi dan marah dengan kondisi TN Tesso Nilo yah presiden, bukan seorang Harrison Ford, presiden sebagai orang yang mengangkat menteri berhak tahu kondisi TMTN, bukankah ia mempunyai kaki tangan yang begitu banyak, apakah namanya penasehat, staf ahli dan lain-lain, kalau ia mengetahui seharusnya ia menegur sang menteri kalau perlu dengan sikap yang emosional sekalipun, bukannya emosional yang berlebihan ketika orang atau anak-anak tidak menyimak, tertidur ketika ia berpidato dengan gayanya yang formal.

Tampaknya ia perlu bertanya kepada Menhut, apakah ia pernah pergi ke Taman Nasional Tesso Nilo, kalau belum, suruh ia kesana, kerja dari sana. Menjadi pemimpin tidak boleh pemarah, tetapi ia pantas marah ketika melihat sesuatu yang tidak beres, ia harus kesal ketika melihat sesuatu yang buruk, maka adalah sangat bagus seandainya SBY mau menampakan kekesalan, kemarahan dengan perilaku korup para perwira polisi di negeri ini. Ia harus berani menegur dan mengingatkan. Ia harus berani menampakan ketidaksukaan atas perilaku tersebut sehingga orang tidak akan bermain-main dengan jabatannya.

Bila di Negara ini segala sesuatu di biarkan, diendapkan dengan berbagai pertimbangan yang terkesan bijaksana, maka kita hanya akan menunggu waktu ke depan bahwa hal ini akan menjadi ledakan yang tidak dapat diduga, maka seorang pemimpin tugasnya adalah menyelesaikan masalah dengan segala resiko apapun.

Dalam contoh kasus kepemimpinan yang menyelesaikan masalah kita bisa lihat pada beberapa tokoh, kita bisa belajar dari CEO KAI, Bapak Ignasius Jonan, walaupun kepemimpinannya belum membuat pelayanan kereta api di Indonesia bagus seratus persen, setidaknya masyarakat bisa melihat bahwa sebagai pemimpin ia berusaha menyelesaikan masalah yang ada, salah satu masalah yang besar adalah para pedagang kaki lima di peron-peron kereta api di seluruh Jabodetabek, kalau seandainya ia berlindung dengan berbagai alasan bijak misalnya; rasa kemanusian, pelangaran HAM, perlawanan dari dalam dan luar, pekerjaan, kehilangan pendapatan dll maka sudah barang tentu PKL yang ada di peron-peron kereta api yang menggangu penumpang tidak jadi dibersihkan dan tidak ada perubahan.

Sekarang peron-peron kereta api di wilayah Jabodetabek lebih nyaman, bisa kita bayangkan kalau seandainya Ignasius Jonan, berlindung dibalik alasan-alasan bijaksana seperti Menhut, pasti tidak ada keberanian untuk melakukan tindakan, tidak ada keberanian untuk menyelesaikan masalah, sebagai pemimpin KAI, tentu keputusan Ignasius Jonan di latar belakangi kepentingan yang lebih luas yang jauh kedepan ia tampaknya paham bahwa tindakanya lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.

Masyarakat pun tahu bahwa tindakan membersihkan PKL dari peron-peron di Jabodetabek adalah hal yang tepat, maka tidak ada resistensi masyarakat, selain hanya para pedagang dan segelintir mahasiswa di stasiun UI, barangkali sebenarnya para mahasiswa itu pun tahu bahwa apa yang dilakukan KAI itu benar, apa yang mereka lakukan mungkin sekedar menunjukan eksistensi mereka.

Untuk contoh kasus yang lain adalah kegigihan Jokowi untuk membenahi Tanah Abang, membenahi para pedagang kaki lima yang mengkooptasi jalanan untuk berdagang, tanpa perlu kita ulangi apa yang dilakukan,kita bisa mengatakan bahwa Jokowi dan Ignasius Jonan telah berhasil menjalankan fungsi sebagai pemimpin yang menyelesaikan masalah.

Demikian juga dengan Jusuf Kalla (JK), kepemimpinan mampu menyelesaikan masalah, kita tahu bagaimana sepak terjangnya menyelesaikan masalah Aceh, konversi minyak tanah ke gas dan sebagainya, ia cepat bertindak, maka sloganya lebih cepat lebih baik, sangat populer sampai saat ini.

Saat ini, masyarakat khususnya di kota-kota semakin pandai melihat pemimpinnya, mereka membutuhkan pemimpin yang bergerak, tidak peduli tampangnya pas-pasan, badannya kecil, gelarnya sedikit, macam JK, Jokowi dan Jonan, mereka kecil-kecil tapi nyalinya besar, lebih besar dari seorang jenderal gagah sekalipun. Ketertarikan kita bukan karena gaya bicaranya top markotop dan sistematis, tapi karena mereka mampu melakukan perubahan, bukankah pemimpin sejati di nilai dari perubahan yang dilakukannya.

Persis seperti kata John C. Maxwell dalam bukunya yang berjudul “Developing The Leader Within You Workbook” bahwa tes akhir dari kepemimpinan seseorang adalah menciptakan perubahan yang positif”. Untuk menciptakan perubahan seorang pemimpin harus bergerak, harus bertindak dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya bukan mendiamkan.

Sumber : Kompasiana, 16.09.13. Penulis : Zaldy.

[English Free Translation]
An article that highlights the meaning of leadership. Anyone who is elected to a real example, reflect that in this country there is still a hope for the growth and development of a country called INDONESIA. Nothing is impossible.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...