Rwaneka
datu winuwus wara buda wiswa,
Bhineki
rakwa ringapan kena parwa nosen,
Mangkan
jinatwa, kalawan siwatatwa tunggal,
Bhineka
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa
Sumber-sumber
ajaran agama konon berbeda-beda,
Tapi
bicara mengenai Sang Kuasa, kapankah Dia dapat dibagi-bagi
Karena
baik ajaran siwa-maupun-buda adalah tunggal
Berbeda-beda
tetapi tetap satu, Dharma tak dapat dibagi-bagi
[Sutasoma]
Jaman dahulu,
ratusan tahun yang lalu, perang besar antara agama buda dan agama hindu (siwa)
nyaris terjadi. Hal itu dapat dicegah, karena ada dialog parapemuka kedua
agama.
Dialog itu menghasilkan bhisama atau fatwa yang mengikat kedua belah
pihak. Bhisama tersebut ternyata menjaga tanah Nusantara, selama ratusan tahun
kemudian. Tercantum dalam kitab Sutasoma – Bhineka Tunggal Ika,Tan Hana
Dharma Mangrwa.
Era
kemerdekaan, Bung Karno, Sang Proklamator, menyatakan diri sebagai ”penggali”
bukan pencipta Pancasila. Karena Pancasila sudah menjadi pedoman atau falsafah
hidup warga Nusantara, sejak ribuan tahun yang silam.
Bhineka
Tunggal Ika, sudah menjadi bhisama yang mengikat bagi kerajaan-kerajaan di
Tanah Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konflik-konflik agama,
bukannya baru terjadi sekarang ini, melainkan telah pernah terjadi berkali-kali
dalam kurun waktu ratusan tahun.
Bangsa kita
telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terkait
dengan persatuan dan kesatuan. Sangat disayangkan, Sang Penjajah, telah
mengobrak-abrik kekayaan intelektual bangsa, untuk melanggengkan kesempatannya
menghisap kekayaan Nusantara dengan semena-mena.
Renungkanlah,
kenapa penjajahan terjadi selama berabad-abad, apakah Nusantara terlalu lemah
untuk melawan itu ?
—oOo—
Kutukan – Sirna Hilang Kertaning Bumi
Orang tua-tua
berkata, candrasengkala yang menandakan jatuhnya majapahit bukanlah dibuat
begitu saja. Itu adalah kutukan – Sirna Hilang Kertaning Bumi – hilang lenyap
kesejahteraan bumi nusantara. Karena apa ?
Karena raja
baru, dengan gelar Panatagama,
penata atau pengatur agama, melupakan bhisama atau fatwa – Bhineka Tunggal Ika,
Tan Hana Dharma Mangrwa. Raja berkolaborasi dengan ulama-ulama besar, membangun
negara berlandaskan satu agama. Celakanya, kerajaan diperluas sambil melakukan
penyeragaman kepercayaan yang baru itu.
Maraknya
penyaragaman, karena ulama yang termasuk dalam sub system sosiokultural yang
mestinya memiliki tugas independen untuk mengayomi seluruh masyarakat,
berkolusi dengan sub sistem politik pada saat itu.
Untuk
mempermudah proses infiltrasi budaya, maka dilakukan perubahan-perubahan
pakem-pakem pewayangan misalnya ramayana dan bharatayudha. Senjata Kalimasada
sang Yudistira, di gothak gathik gathuk menjadi Kalimah Syahadat.
Ada ulama
yang jelas-jelas menjiplak cerita dewa ruci, menjadi suluk linglung yang
diclaim sebagai karyanya, dan mengganti bima seolah dirinya. Suatu cara
infiltrasi budaya yang cerdik namun tetap saja licik.
Penumpasan
dilakukan secara kasat mata, pergantian agama bukan karena suka rela dan dari
hati yang terdalam, tetapi timbul karena alasan ekonomi, ketakutan politis dan
kekejaman apparat negara yang berkolaborasi dengan ulama bengis tanpa ampun.
Ada banyak
ulama-ulama yang tak sejalan, seperti Siti
Jenar, atas nama agama, disingkirkan bahkan dibunuh secara fisik. Dibuat mitos
bahwa, ketika jasad Syekh Siti Jenar ditanam, berubah menjadi anjing buduk,
suatu pembunuhan jasad dilanjutkan dengan pembunuhan karakter yang membuat
miris logika kita.
Itulah ulah
para ulama keblinger kekuasaan, tega memalsukan sejarah, plagiator karya orang
lain, meramunya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Rekayasa budaya, agama
dan politik, membuat kemarahan yang amat sangat di bathin warga nusantara, akan
tetapi telah kehilangan kata-kata.
Akhirnya
muncul kutukan Sirna Hilang Kertaning Bumi yang berarti hilang musnah
kesejahteraan di bumi Nusantara. Dan sejarah mengatakan, sejak itu, bangsa kita
jadi bangsa yang dinistakan, dijajah, dihisap dari bangsa lain karena para
petinggi Negara bekerjasama dengan para ulama melupakan bhisama/fatwa Bhineka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Eka Prasetya Pancakarsa
Tahun 1978, 500 tahun setelah terjadinya
kutukan Sirna Hilang Kertaning Bumi, muncul Eka Prasetya Pancakarsa yang
diinisiasi dan dicanangkan oleh Presiden
Suharto.
Pancasila
kembali menjadi landasan dan falsafah berbangsa. Batas-batas negara ditetapkan,
zone ekonomi eksklusif dipatok. Sang Ksatria, pada saat itu, benar-benar
menjalankan tugas negara. Kita sempat menjadi Bangsa yang terhormat beberapa
saat.
Adanya
reformasi menyebabkan Pancasila dipinggirkan kembali, karena salah kaprah,
memandang itu sebagai produk Orde Baru yang harus disingkirkan. Tidak ada
kesinambungan pemikiran, dari para oportunis-oportunis politik yang suka mengail
di air keruh, memanfaatkan segala resources secara membabi buta, termasuk
menunggangi agama.
Keinginan-keinginan
penyeragaman kembali lagi timbul, nafsu-nafsu menggunakan agama untuk meraih
posisi kekuasaan menjadi kian subur. Lalu terbukti, kita menjadi hancur lagi.
Nah … tidak
kah kau lihat … hei Warga Nusantara … ketika kita lupakan Bhineka Tunggal Ika,
Tan Hana Dharma Mangrwa … ketika slogan itu hanya menjadi penghias dinding, dan
tidak ada dalam kalbu sang pemimpin, maka kerusakan pasti akan terjadi !
Sudah
beberapa kali kita mengadakan pemilihan umum, baik yang langsung, maupun
berdasarkan perwakilan, partai islam tak pernah menang !!! Karena ada goresan
keperihan di bathin warga Nusantara, akibat campur aduk agama dengan negara.Indonesia
harus kembali lagi pada penerapan sejati, Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma
Mangrwa, tanah Nusantara akan tetap menderita.
Dengan penipuan-penipuan,
cara-cara halus meraih kekuasaan melalui agama, Nusantara akan tetap menderita.
Jati Diri Bangsa
Di era
globalisasi ini, ketika serangan budaya luar makin menghebat, ketika perekonomian
carut marut, subsistem politik kita buyar, maka salah satu jalan agar kita bisa
berdiri tegak adalah dengan membangun kembali Jati Diri Bangsa.
Pedoman-pedoman
rukun, toleransi dan sikan hormat-menghormati, harus diberikan tempat
seluas-luasnya. Dari pada diberikan pelajaran agama, yang jelas menyebabkan
terpisahnya warga bangsa sejak duduk di bangku SD, kenapa kita tak berpaling
pada pelajaran Budhi Pekerti, yang pasti ada di setiap agama.
Daripada
beragama dimulut saja, tapi korupsi merajela, dan kerusuhan tak henti melanda,
kenapa alternatif itu tak difikirkan dengan seksama. Bagi golongan tertentu ini
merupakan suatu kerugian, tapi sudah saatnya kita memikirkan bangsa, bukan
golongan agama.
Profesi-profesi
utama harus kembali ke swadharma atau kewajibannya masing-masing.
Brahmana atau
ulama kembali menjadi pengemong seluruh umat tanpa harus terkait dengan partai.
Ksatria – politikus benar-benar mengkonsentrasikan dirinya untuk membuat
aturan-aturan negara.
Wesya –
pengelola perekonomian tekun dengan usaha-usaha inovasi dan seluruh masyarakat
mampu tabah menghadapi segala cobaan yang ada. Jangan sampai dimanfaatkan oleh
oknum-oknum pencari keuntungan sesaat. Jangan sampai buruh digerakkan oleh serikat-serikat
yang dipimpin oleh oknum-oknum yang jelas-jelas mendapatkan dana luar biasa
besar dari negara luar.
Keserakahannya
digunakan oleh musah-musuh negara untuk mengacaukan bangsa, dan mengambil
untung dari kekacauan yang terjadi pada bangsa kita.
Cara-cara
untuk bangkit kembali sebagai bangsa telah tercantum di Kitab Negara Kertagama dan kitab-kitab lain Nusantara, kenapa kita
tak berpaling ke padanya… Karena
kalau kita mengacu pada bangsa lain … apalagi mengacu pada bangsa-bangsa timur tengah … mereka sendiri sedang carut marut ..
tak bisa dijadikan panutan.
Lamun sira
paksa nulad, tuladhaning kangjeng Nabi, O, ngger kadohan panjangkah, wateke tan
betah kaki, rehne ta sira tanah jawi, sathitik bae wus cukup, aja guru aleman,
nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat.
Jika kau
memaksakan diri untuk meniru sikap keteladanan Nabi, o, terlampau jauh anakku.
Dari gelagatmu (kau) takkan mampu karena kau lahir sebagai orang jawa.
Karenanya, tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian (dengan) meniru atau
menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugrah akan
tiba.
[Serat
Wedhatama, Sinom]
Demikian
sodara-sodaraku, mudah-mudahan kisah pengantar tidur di atas, menjadi
perenungan
walau sepintas. Siapa tahu, bisa dijadikan pedoman kalau tanda Gunung
Merapi
Meletus, Laharnya Berbau Amis, benar-benar ada.
Oleh : Ki
Jero Martani - Parang Kusumo, 08.04.2006.
[English Free
Translation]
A critical opinion
concerning the State Emblem in the spirit of Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity,
though different fixed one. It is desirable but in fact actually different. The
article to enrich the discourse of all Readers.
Good luck & keep writing such awesome content.
ReplyDeleteVirgin Linseed Oil BP
flaxseed oil