Sunday, July 21, 2013

[KU-199/2013] 71 Persen Orang Indonesia Menyuap di Pelayanan Publik


SRIPOKU.COM - Survei terbaru Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, empat dari 10 masyarakat di Indonesia membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik.

Temuan TII juga menyebutkan, 36 persen responden di Indonesia membayar suap untuk mengakses delapan jenis layanan publik dasar seperti pajak, catatan sipil, perizinan, polisi, peradilan, atau layanan pertanahan.
Menurut survei ini, praktik suap paling banyak dilakukan sebagai pelicin urusan atau memercepat layanan, yakni sekitar 71 persen.

"Responden yang membayarkan suap untuk layanan publik, paling banyak di polisi, peradilan, layanan catatan sipil, dan perizinan," kata pengurus TII Wahyudi Thohary, dalam jumpa pers, Selasa (9/7/2013) sore di Jakarta, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia Heyder Affan.

Hasil penelitian terbaru yang melibatkan 1.000 orang responden, digelar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, sejak September 2012 dan berakhir empat bulan lalu.
Sebagian responden juga menilai, faktor kedekatan (personal contact) sangat penting untuk mengakses pelayanan publik.

"74 persen responden menyatakan, kolusi penting untuk mendapatkan fasilitas publik," ujar Wahyudi, membacakan hasil survei.

Praktik korupsi di Indonesia, menurut kesimpulan survei ini, juga tidak terlepas dari pengaruh 'pebisnis besar' terhadap pemerintah, walaupun menurut TII, negara-negara lain di Asia Tenggara dianggap lebih parah.

Dalam temuan lainnya, TII juga menyebutkan partai politik, polisi, pejabat publik, parlemen, dan peradilan, merupakan lembaga yang dinilai paling korup.

Tidak Mau Melapor
Sekalipun demikian, menurut survei TII, mayoritas responden menyatakan optimistis dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.

"80 persen warga bersedia bertindak konkret, baik dalam bentuk memberi tekanan (petisi atau protes), bergabung dalam organisasi antikorupsi, menolak suap, membangun wacana melalui media sosial, maupun melaporkan kejadian korupsi di sekitarnya," papar TII.

Sayangnya, menurut hasil survei, di Indonesia belum cukup tersedia perlindungan dan saluran yang efektif bagi warga untuk melakukan pengaduan dan pelaporan korupsi.

"Masyarakat di Indonesia masih enggan melaporkan kejadian korupsi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara," ungkap Wahyudi.

"Mayoritas saksi tindak pidana korupsi takut melapor tindak korupsi karena khawatir dengan konsekuensinya," tambahnya.

Di negara-negara Asia Tenggara lain, lembaga antikorupsi paling diminati untuk melaporkan tindak korupsi. Sementara, di Indonesia, warga cenderung melapor langsung ke lembaga publik.

Dalam rekomendasinya, TII meminta pemerintah dan masyarakat memerkuat lembaga-lembaga antikorupsi, memonitor efektivitas reformasi pelayanan publik, dan melibatkan warga dalam upaya-upaya melawan korupsi.

Sumber : Sriwijaya Post, 11.07.13.

[English Free Translation]

The latest survey of Transparency International Indonesia (TII) shows, four of the 10 people in Indonesia to pay bribes to obtain public services.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...