Monday, November 12, 2012

[KU-268/2012] Bisakah Indonesia Bertahan Tanpa Cina ?


BALIKPAPAN – Maskur, seorang awak kapal, sedang duduk-duduk di dermaga pelabuhan Semayang, Balikpapan, di pantai timur Kalimantan. Sambil mengupas mangga, ia merenungkan sebuah pertanyaan pelik. Berapa lama lagi Cina bisa pulih dari kelesuan ekonomi, dan kembali memborong batu bara Indonesia?

Sejak industri batu bara Indonesia melonjak tahun 2007, Maskur sudah beberapa kali keliling dunia sambil bekerja di kapal-kapal dagang. “Saya pernah ke Spanyol, Italia, Amerika,” kenangnya. “Paling sering sih ke Cina,” tambahnya. Tapi sekarang, ia tak lagi sering ke sana.

Indonesia adalah eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Batu bara jenis ini adalah varietas low-grade yang dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, daerah tambang batu bara di Kalimantan Timur dan lainnya mulai merasakan dampaknya.

Pertanyaan timbul: apakah booming belanja konsumen dalam beberapa tahun terakhir ini bisa mengimbangi kemerosotan permintaan batu bara, minyak sawit, dan komoditas ekspor lain? Bisakah kita terus-menerus menikmati booming ekonomi?

Sementara harga batu bara dunia telah jatuh sekitar 20% tahun ini. Dalam bisnis bermargin tipis ini, penurunan itu kian menambah tekanan. Pertambangan besi di Australia sudah memangkas anggaran belanja, karena harga bijih besi merosot seiring dengan penurunan permintaan dari Cina.

Wilayah pertambangan batu bara Appalachia di Amerika Serikat (AS) juga menderita, karena harga batu bara top grade yang ditambang di sana sudah terpapas separuhnya. Dari angka rekor $330 per ton pada awal 2011, ke sekitar $170 per ton saat ini. Oleh karena itu, perusahaan pertambangan terpaksa merumahkan ribuan pekerja. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menyatakan pailit.

Ban berjalan pengangkut batu bara di Kalimantan Timur ini sedang tidak aktif. Industri batu bara Indonesia yang biasanya marak tengah terpukul akibat penurunan permintaan dari Cina dalam beberapa bulan terakhir.

Di Indonesia, sebagai salah satu indikator utama bagaimana pengaruh kelesuan di Cina terhadap negara lain, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menurunkan proyeksi produksi 2012 sebesar 13%. Akibatnya, pengiriman batu bara dari Balikpapan menurun tajam dalam beberapa bulan terakhir. Maskur dan rekan-rekannya sesama awak kapal Andhika terpaksa mengangkut semen. Kali ini, mereka hanya berlayar sampai Surabaya.

Kembali ke Kalimantan, Slamet Brotosiswoyo, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Timur, merasa khawatir akan nasib 30.000 buruh yang berpotensi kehilangan pekerjaan akhir tahun ini. Perusahaan pertambangan kecil harus menutup sebagian operasional. Hal itu bisa meredam laju belanja konsumen, dan memaksa perusahaan pertambangan lain berpikir ulang tentang bagaimana mereka bisa mengolah batu bara dan menjual dengan harga lebih tinggi.

“Krisis finansial global 2008 itu bukan apa-apa. Bagi kami, yang penting adalah Cina,” kata Ferry Juliantono, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia.

Para ekonom juga mulai menyuarakan peringatan. Kejatuhan nilai ekspor komoditas telah membuat defisit transaksi berjalan yang parah semakin parah. Hal ini bisa menambah beban pada rupiah, dan memicu inflasi. “Indonesia terlalu tergantung kepada siklus komoditas global dan pertumbuhan ekonomi Cina,” kata Prakriti Sofat, ekonom Barclays Capital di Singapura.

Sofat juga mencatat bahwa angka impor pun menurun, walaupun data terbaru itu bisa jadi terpengaruh oleh dampak bulan puasa Agustus lalu, saat impor merosot 24% dibanding setahun sebelumnya. Bagaimanapun, tren itu menandakan para pengusaha mulai bertindak hati-hati, dengan meredam impor barang-barang modal. Ini bisa menjadi peringatan awal bagi belanja konsumen, yang menggerakkan sekitar 60% ekonomi Indonesia.

Sementara itu, di jalanan ibu kota Jakarta, buruh berunjuk rasa memprotes upah minimum yang rendah serta menjamurnya tren pekerja kontrak untuk menggantikan karyawan tetap. Hal ini bisa mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin lebar—satu lagi isu hangat menjelang pemilihan presiden 2014.

Pemilu akan menjadi titik balik yang sangat penting. Setelah memikat investor dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia kini kembali disorot. Masih banyak pihak yang melihat Nusantara sebagai negara yang akan menjadi kekuatan ekonomi baru.

Mereka memandang Indonesia sebagai negara demokratis yang pro-bisnis. Negara berpenduduk 240 juta ini juga dipandang memiliki pasar dalam negeri yang kuat. Selain ikatan dagang yang erat dengan Cina, pasar dalam negeri ini membantu menangkal dampak krisis ekonomi global 2008.

Banyak bukti mendukung sudut pandang itu. Kota-kota kaya komoditas sumber daya alam seperti Balikpapan adalah salah satunya. Pusat perbelanjaan dan hotel berkualitas internasional menjamur di Balikpapan dan Samarinda. Semuanya adalah jawaban dari dahaga Cina akan komoditas mentah. Di Jakarta, jalanan penuh dengan mobil-mobil baru yang diborong kelas menengah.

Indeks Harga Saham Gabungan melonjak 30% dalam setahun terakhir, sementara ekonomi menanjak mendekati batas $1 triliun per tahun dengan sektor jasa yang besar. Tahun 2011, ekspor komoditas termasuk bahan makanan menyumbangkan 68% dari total ekspor. Tapi, menurut McKinsey & Co, sektor itu hanya berkontribusi 19% terhadap total nilai ekonomi.

Luke Rowe, penasihat teknis di Jones Lang LaSalle, berkata tidak ada tanda-tanda gelembung atau bubble di pasar properti. Permintaan dari sektor komersial dan perumahan tetap tinggi, walaupun beberapa proyek terkesan terlalu ambisius, seperti rencana pencakar langit 101 lantai di Jakarta. Yang paling penting, tak seperti booming properti sebelumnya tahun 1990-an, bank lebih hati-hati memberikan kredit. “Mereka sudah jera,” ujar Rowe.

Di pertemuan regional di Phnom Penh, Kamboja, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan beberapa bulan lalu merangkum suasana ini dengan menggambarkan Indonesia sebagai “indescribably sexy story.”

Tapi, agar kisah seksi itu bisa terus berlanjut, kalangan pebisnis harus bisa mencari cara tetap tumbuh saat Cina melemah. Menurut sebagian ekonom, generasi baru pemimpin Cina yang akan mulai berkuasa sebentar lagi – rapat-rapat soal transisi Cina ini akan dimulai 8 November – tidak terlalu memperhatikan angka pertumbuhan yang tinggi. Mereka lebih menyoroti kualitas pertumbuhan Cina.

Ini bisa mendatangkan perubahan struktural di Negara Tembok Besar itu. Seperti halnya jumlah proyek listrik tenaga air dan gas di negara itu yang terus meningkat, perubahan tersebut bisa semakin menurunkan permintaan akan batu bara Indonesia.

Sumber : TWSJ, 06.10.12.

[English Free Translation]
Indonesia is the largest exporter of thermal coal in the world. This type of coal is low-grade varieties are used as fuel for coal-fired power plant. However, with the slowdown in China's economic growth, local coal mine in East Kalimantan and others began to feel the impact.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...