Wednesday, November 7, 2012

[KU-265/2012] Indonesia Makin Berisiko


Oleh Kathy Chu dan I Made Sentana

JAKARTA—Investor asing semakin mencemaskan masalah sengketa kontrak dan isu nasionalisme di dunia bisnis Indonesia. Hal ini dapat merintangi arus investasi ke sumber daya alam Indonesia bernilai tinggi, seperti minyak, gas, dan bahan tambang.

Pengusaha asal Eropa, Nat Rothschild, bulan lalu mundur dari direksi Bumi PLC setelah Bakrie Group mengajukan tawaran untuk aset Indonesia milik perusahaan batu bara asal London itu. Churchill Mining PLC, perusahaan asal Inggris, tengah terlibat dalam sengketa dengan pemerintah daerah mengenai proyek batu bara di Kalimantan.

Intrepid Mines Ltd. mengklaim mitranya di Indonesia mengusir perusahaan pertambangan asal Australia itu dari sebuah proyek eksplorasi emas dan tembaga. Empat karyawan Chevron Corp., perusahaan Amerika Serikat (AS) yang sudah berkiprah di Indonesia selama hampir 90 tahun, ditahan oleh Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi remediasi tanah di Sumatra.

“Isu-isu yang menumpuk itu menyiratkan investasi di Indonesia tidak mudah,” kata Dipnala Tamzil, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association atau IPA. “Arus investasi ke Indonesia memang belum terhenti, tapi hal ini menunjukkan ada masalah yang harus dipecahkan.”

Tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Investor asing mencemaskan beberapa isu di sektor pertambangan.
Sengketa bisnis memang bisa terjadi di mana saja. Dan negara dengan salah satu pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia ini telah memikat investasi asing dalam jumlah besar.

Tapi rangkaian insiden itu memicu kekhawatiran akan transparansi dan kestabilan regulasi di Indonesia, kata Andrew White, managing director Kamar Dagang AS di Indonesia.

“Berapa banyak potensi investasi yang bisa mengalir masuk jika Indonesia menangani isu-isu penting ini?” tanyanya. “Ada belasan miliar dolar yang menunggu.”

Jubir Chevron Alex Yelland berkata perusahaannya “meninjau rencana investasi secara rutin, dan kepercayaan terhadap kerangka kerja hukum serta regulasi adalah bagian penting” dalam pengambilan keputusan.

Arus investasi asing langsung ke Indonesia naik ke rekor tertinggi senilai $5,9 miliar di kuartal ketiga 2012, atau meningkat 22% dari periode yang sama setahun sebelumnya. Ini menandakan Nusantara masih diminati investor asing yang ingin memikat konsumen kelas menengah, yang jumlahnya terus tumbuh.

Kebijakan dari pemerintah “sangat mendukung pembentukan iklim investasi yang terus membaik,” tegas Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bulan lalu.

Namun, meskipun Indonesia masuk 10 besar dunia dalam hal potensi barang tambang mineral, kita masuk 10 negara dengan dampak kebijakan terburuk terhadap eksplorasi pertambangan. Sentimen itu datang dari survei akhir tahun lalu oleh lembaga penelitian Fraser Institute dari Kanada, yang menghubungi sekitar 800 perusahaan terkait pertambangan.

Selain itu, Indonesia yang dulu pernah menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau OPEC ini sudah lama menjadi importir net minyak. Ladang-ladang minyak kita yang semakin menua memberikan hasil produksi yang terus menurun.

Seiring dengan pemilu presiden Juli 2014 yang kian mendekat, saat ini pun pemerintah menerapkan “sikap yang sangat nasionalis” dalam regulasi pertambangan, kata Adam Worthington, analis dari Macquarie Securities. Hal ini dapat meredam arus modal asing, lanjutnya.

Di sektor pertambangan, pemerintah telah meluncurkan peraturan baru mengenai pembatasan kepemilikan asing. Pemerintah juga tengah merundingkan ulang angka royalti pertambangan dengan investor asing besar.

Beberapa investor melihat langkah pemerintah itu sebagai aksi nasionalis. “Mungkin pendapat itu ada benarnya,” kata Muhammad Chatib Basri, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Tapi Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pertambangan sumber daya alam, lanjutnya, sehingga pemerintah harus mendorong perusahaan beralih ke produk dan layanan bernilai lebih tinggi.

Reaksi investor asing bisa terlihat dari kasus Rothschild dan Bumi. Dalam surat pengunduran diri, pengusaha Inggris itu menulis bahwa tawaran Bakrie membeli aset-aset Indonesia “jelas tidak membawa kepentingan pemegang saham minoritas.” Ia juga menyatakan “hampir semua pebisnis Indonesia terkejut oleh kesan buruk” yang ditangkap investor asing akibat sengketa ini. Pihak Bakrie menolak berkomentar.

Menurut survei Kamar Dagang Amerika, dari 356 perusahaan yang dihubungi, hanya seperempat yang berencana berekspansi di Indonesia. Persentase tahun lalu mencapai 72%, sedangkan pada 2010 mencapai 69%. Survei itu melibatkan perusahaan anggota kamar dagang di tujuh negara Asia Tenggara, dan berlangsung 15 Juni hingga 3 Juli lalu.

Alasan di balik kemerosotan itu belum jelas, kata Andrew White dari Kadin AS. Tapi isu seperti korupsi, infrastruktur, proteksionisme, dan regulasi masih menjadi perhatian utama perusahaan anggota kamar dagang, lanjutnya. White menambahkan faktor penting lain adalah kepatuhan terhadap kontrak.

Sengketa kontrak terjadi antara Intrepid Mines dan PT Indo Multi Niaga. Intrepid menuduh mitranya di Indonesia itu melanggar kontrak dengan menjual kepemilikan proyek eksplorasi emas dan tembaga.

“Peristiwa ini, dan kasus-kasus lain di Indonesia baru-baru ini, menunjukkan bahwa beberapa unsur komunitas bisnis merasa bisa melanggar hukum tanpa mendapat hukuman,” kata CEO Intrepid Brad Gordon.

Indo Multi Niaga menolak berkomentar.

Mengenai kasus Bumi, Gita Wirjawan berkomentar hal itu adalah “isu korporat.”

Di kasus lain, Churcill Mining membawa adu klaim proyek batu bara di Kalimantan ke pengadilan arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes di Washington.

Sementara itu, penahanan karyawan Chevron bisa memberikan “preseden baru” di industri minyak dan gas, kata Dipnala Tamzil dari IPA. Kontrak pembagian produksi atau production sharing biasanya menyatakan sengketa harus diselesaikan melalui hukum perdata, bukan pidana.

Penyelidikan itu juga dapat merusak “iklim investasi” Indonesia dengan menimbulkan ketidakpastian tentang proses penyelesaian sengketa, kata Hadi Prasetyo, Kepala Hubungan Masyarakat BP Migas.

Kejaksaan Agung menuduh proyek pemulihan tanah atau remediasi di Sumatra yang dilakukan Chevron merupakan proyek “fiktif.” Menurut Kejakgung, negara merugi $23,4 juta atau sekitar Rp 225 miliar, karena limbah terkait pengeboran minyak tidak berhasil terangkat dari tanah. Adi Toegarisman, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung, berkata kasus ini tak akan membuat investor asing yang bermain sesuai aturan menjadi cemas.

Alex Yelland dari Chevron berkata proyek itu sudah mendapat izin pemerintah, dan telah merehabilitasi lahan seluas 75 kali lapangan sepak bola. Perusahaan asal AS itu juga mewajibkan karyawan menjalani pedoman perilaku yang “ketat,” ujarnya.

Todung Mulya Lubis, kuasa hukum keempat karyawan Chevron yang ditahan, berkata proyek itu sudah berlangsung sesuai aturan. Ia telah mengajukan bukti-buktinya ke Kejakgung.

—Dengan kontribusi dari Eric Bellman dan Joko Hariyanto.

Sumber : WSJ, 01.11.12.

[English Free Translation]
Foreign investors are increasingly worrying about contract disputes and nationalism issues in the Indonesian. This can hinder the flow of investment into Indonesia's natural resources of high value, such as oil, gas, and mining.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...