Wednesday, February 29, 2012

[KU-058/2012] Pajak Batu Bara Dinilai Efektif Untuk Kendalikan Ekspor


JAKARTA: Instrumen pajak sebagai pengendalian ekspor batu bara dinilai sebagai salah satu opsi yang dapat ditempuh. Namun, instrumen nonpajak juga harus dikembangkan dengan memadai.

Reza Ihsan Rajasa, Ketua IV bidang Energi dan Pertambangan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), menilai untuk dapat mengarahkan konsumsi batu bara Indonesia untuk konsumsi dalam negeri, pemerintah tidak harus mengenakan pajak.

"Pajak itu kan instrumen keadilan. Saya setuju memang 80% batu bara kita dikeluarkan untuk industri luar negeri. Tapi untuk menguranginya jadi 60%  dan supaya batu baranya stay di dalam negeri, itu bukan hanya bisa dikerjakan dengan pajak, instrumen insentif lainnya juga harus dikembangkan," ujar Reza  hari ini.

Menurutnya, agar produksi batu bara Indonesia dapat dikonsumsi di dalam negeri secara mayoritas pemerintah perlu mengembangkan industri derivatif yang mendukung, seperti smelter dan aluminan yang berbahan dasar batu bara. Namun, Reza juga menegaskan pentingnya harga bersaing dan standarisasi harga di dalam negeri.

"Mereka menjual ke luar negeri karena harganya lebih bagus, domestik harganya kurang begitu bagus. Pemerintah harus bisa memikirkan bagaimana caranya membuat standarisasi harga untuk menjual barangnya di dalam negeri. HBA (harga batubara acuan) apa sudah dilaksanakan dan apa sanksinya kalau melanggar," tegas Reza.

Batu bara, tambah Reza, merupakan komoditas ekspor Indonesia yang sangat seksi. Untuk itu, diperlukan regulasi yang baik, efektif dan produktif untuk dapat memanfaatkan deposit batu bara di Sumatra, Kalimantan, dan Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Reza juga menekankan pentingnya pengembangan industri turunan batu bara di dalam negeri oleh investor domestik melalui transfer teknologi dan pengetahuan dari negara pengolah seperti Jepang dan Korea Selatan.

"Jangan sampai mereka lagi yang masuk ke industri pengolahan tambang, kita harus kembangkan kapasitas industri domestik untuk mengolah produk tambang kita supaya ada value added. Ini sesuai dengan aturan pemerintah yang melarang ekspor produk tambang gelontoran pada 2014," tuturnya.

Berdasarkan data PT Bukit Asam Tbk pertumbuhan produksi batu bara dari 2004 ke 2010 mengalami peningkatan 207%. Pada 2004, total produksi mencapai 132,35 juta ton sedangkan pada 2010 melonjak menjadi 275,16 juta ton, dengan konsumsi domestik 67 juta ton, ekspor 208 juta ton, dan impor 111,31 ribu ton.

Sebelumnya, Direktur Centre for Petroleum & Energy Studies Kurtubi, mengungkapkan untuk menjaga ketahanan energi di dalam negeri, batu bara harus diarahkan untuk bahan bakar produksi listrik PLN. Pembatasan ekspor juga perlu dinilai perlu dilakukan a.l. dengan pengenaan pajak. (sut)

Sumber : Bisnis Indonesia, 14.02.12.

[English Free Translation]
Tax instruments as coal export controls is rated as one of the options that can be taken. However, non-tax instruments should also be developed adequately.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...