Friday, June 15, 2012

[KU-155/2012] Editorial Bisnis : Menimbang Batu Bara


Rencana pemerintah terkait dengan pengenaan bea keluar atau pajak ekspor batu bara menimbulkan reaksi luar biasa keras. Gaung perlawanan yang kuat keluar dari ruang Konferensi Coaltrans Asia ke-18 di Bali yang berlangsung  pekan ini.

Kebijakan bea keluar merupakan bagian dari wacana pemerintah untuk mengendalikan pro­duksi batu bara, termasuk pembatasan ekspor batu bara menjadi minimal 5.700 Kkal/kg dan pengaturan tata niaga baru bara sebagai komoditas yang diawasi ekspornya.

Kebijakan bea keluar batu bara itu masih dalam proses kajian. Fokus pemerintah masih pada pe­­nyelesaian rekonsiliasi izin usaha pertambangan yang jumlahnya sudah mencapai 10.000 izin.

Jumlah izin itu meningkat luar biasa dibandingkan dengan jumlah sebelum berlakunya otonomi daerah yang masih berjumlah 5.000. Peningkatan yang luar biasa juga terjadi dari sisi produksi. Ka­­lau pada 1998, produksi batu bara baru tercatat sebesar 60 juta ton.

Jumlah produksi komoditas itu meningkat pesat menjadi 253 juta ton pada 2011, lalu tahun ini di­­perkirakan mencapai 332 juta ton, dan direncanakan menjadi sekitar 469 juta ton, atau bahkan bisa men­dekati 500 juta ton pada tahun depan.

Tidak mengheran­kan kalau Indonesia saat ini menjadi eksportir batu bara terbesar kedua di du­­nia setelah Australia.

Jumlah produksi batu bara saat ini di­­nilai sangat besar dan bisa mengganggu persediaan untuk masa datang. Kita bisa saja menghibur diri bahwa potensi batu bara nasional saat ini masih aman.

Berdasarkan perhitungan, cadangan batu bara nasional sebesar 28 miliar ton atau 3% dari total cadangan batu bara dunia.

Dengan jumlah seperti ini, batu bara akan habis dalam 90 tahun jika per tahun diproduksi sebanyak 350 juta ton. Kalau tidak direm, kemungkinan cadangan itu akan habis bisa menjadi lebih cepat. Maka secara substansial kebijakan yang di­­ca­nangkan pemerintah untuk membatasi tren ke­­naikan produksi batu bara patut diapresiasi.

Kita tentu berharap, karena masih dalam proses kajian, maka kebijakan itu ditetapkan dengan perhitungan yang matang dan kompre­hen­sif berdasarkan berbagai masukan dan pertimbangan.

Salah satu yang mesti diingat adalah masukan dari pihak Wood Mackenzie bahwa Indonesia bisa menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain jika pemerintah mengenakan pajak ekspor atau bea keluar terhadap batu bara.

Karena hal itu akan menambah beban beban ongkos  bagi perusahaan. Sekadar diketahui, kalau pada 2006, beban ongkos sebesar US$16 per ton dan pada 2012 meningkat jadi US$53 per ton.

Jika ditambah pajak ekspor, beban ongkos bisa bertambah rata-rata US$19 per ton atau meningkat 36%. Kenyataan ini bisa  membahayakan sekitar 68 juta ton ekspor batu bara Indonesia per tahun dan market value hingga US$11 miliar.

Terkait dengan beban ongkos itu, maka pengenaan bea keluar itu harus mempertimbangkan apa yang sudah ditanggung perusahaan batu bara selama ini, termasuk royalti dan beban nonpajak lainnya.

Maka tidak ada cara lain, pemerintah perlu men­­­­cari kebijakan yang bisa mendamaikan ke­­pentingan bisnis batu bara sebagai komoditas pada jangka pendek dan kepentingan energi na­­sional jangka panjang.

Termasuk bahwa kebijakan bea keluar batu bara harus ditempatkan dalam konteks dan pertimbangan kebijakan energi nasional secara komprehensif, termasuk berbagai upaya untuk menghasilkan energi alternatif dan mengembangkan potensi energi terbarukan.

Sumber : Bisnis Indonesia, 07.06.12.

[English Free Translation]
Government plans relating to the imposition of export duties or taxes out of coal extraordinary lengths cause a reaction. Echoes of the strong resistance out of the Coaltrans Asia Conference to-18 in Bali which took place this week.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...