Sunday, April 7, 2013

[KU-094/2013] Sistem Transportasi : Bagaimana Mekanisme Pasarnya?


Topik tentang bagaimana membiayai perjalanan atau mobilitas di Tanah Air kita merupakan isu yang tak akan pernah usai dibahas. 

Per 1 Oktober 2012 yang lalu PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) telah menaikkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek sebesar Rp 2.000. Untuk jurusan Tangerang-Jakarta, misalnya, kenaikan tarif yang terjadi adalah 36% dari tarif awal, sementara untuk jurusan Bogor-Jakarta, kenaikan ini adalah 28,5%.

Dalam Catatan Akhir KA Prambanan Ekpress (Kompasiana, 25/12/2011) yang melayani rute Kutoarjo, Yogyakarta dan Surakarta, pengamat transportasi Yusticia Arif mencatat kenaikan tarif KA sebesar lebih dari 40% dari tarif awal Rp 7.000 pada 2010 menjadi Rp 10.000 di periode penghujung 2012.

Pasal larangan penggunaan APBN dan APBD untuk mensubsidi penyelenggaraan angkutan umum dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) nampaknya menjadi biang keladi mahalnya tarif angkutan umum KA. Perusahaan pengelola angkutan umum dituntut untuk menutup biaya operasi lewat pembebanan pada tarif dibayar masyarakat pengguna.

Di sisi lain, pada Oktober 2012 pemerintah juga telah mengesahkan anggaran untuk subsidi bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 193 trilyun rupiah dan pada saat yang sama, laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di kota-kota besar mencapai puncaknya. D. Rukmana (Jakarta Post, 2010) mencatat bahwa di Jakarta, misalnya, pertumbuhan laju kepemilikan kendaraan roda empat mencapai 10% per tahun dan sepeda motor 15% per tahun.
  
Tanpa adanya perubahan kebijakan di tingkat nasional, di tahun-tahun mendatang kita tidak akan dapat melihat perkembangan lain selain pembengkakan dari angka subsidi BBM yang besarnya tahun lalu sudah lebih dari tiga kali anggaran sektor pendidikan. 

Beberapa contoh praktek pembiayaan mobilitas di atas memancing beberapa pertanyaan: mekanisme apa yang menjadi mendasari pengaturan pembiayaan mobilitas di Tanah Air kita? 

Prinsip user payer

Peraturan Menteri Perhubungan No. 49 tahun 2005 tentang Sistem Transportasi National (Sistranas) secara jelas menyebut adanya tuntutan arus globalisasi yang menyebabkan adanya perubahan tatanan pengaturan di bidang transportasi dari sifat sentralistik ke desentralistik dan dari sifat dominasi pemerintah kepada mekanisme pasar.

Pengaturan bidang transportasi yang desentralistik dan didasari pada mekanisme pasar terkait dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 di mana 'efisiensi' menjadi kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, dengan pengaturan transportasi yang berlandaskan mekanisme pasar pemerintah bertujuan mencapai suatu sistem transportasi yang efisien.

Salah asas yang biasa dipakai dalam mekanisme pasar untuk mencapai efisiensi adalah prinsip pengguna membayar atau user payer. Prinsip ini mengasumsikan bahwa efisiensi suatu sistem pasar akan tercapai saat pengguna membayar semua biaya aktivitas yang ia lakukan termasuk juga dampak negatif aktivitasnya tersebut.

Prinsip user payer inilah yang nampaknya sudah mulai diterapkan dalam pengelolaan angkutan umum di negara kita. Dua contoh kecil di atas, kereta Jabodetabek dan Prameks memperlihatkan 'kesungguhan' pemerintah dalam menerapkan asas ini: penghapusan pemberian subsidi lewat PSO dan naiknya tarif kereta yang memperlihatkan bahwa pengguna jasa kereta api menanggung sepenuhnya biaya operasi.

Namun herannya, kesungguhan penerapan prinsip user payer ini tidak terlihat dalam pengelolaan kendaraan bermotor pribadi. Subsidi BBM yang begitu tinggi  memperlihatkan penganakemasan moda kendaraan bermotor pribadi.

Jika prinsip user payer yang merupakan salah satu asas mekanisme pasar hendak diterapkan secara konsekuen, pemerintah seharusnya tidak hanya menghapus subsidi BBM untuk kendaraan bermotor pribadi.

Lebih dari sekadar menghapus subsidi BBM pemerintah harusnya juga berani untuk menerapkan charging, pajak atau pungutan bagi para pengguna kendaraan bermotor pribadi berkaitan dengan dampak buruk (eksternalitas) terhadap lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan moda tersebut lewat polusi udara, kebisingan, efek rumah kaca dan dampak sosial ekonomi lainnya terkait dengan perawatan jalan maupun kemacetan terutama di perkotaan.

Yang terlupakan

Yang seakan terlupakan oleh pemerintah dalam usahanya mencapai efisiensi sistem transportasi lewat mekanisme pasar adalah asas level playing field. Secara garis besar asas ini menuntut adanya keadilan dalam pelaksanaan suatu mekanisme pasar yaitu dengan garis start yang sama untuk berkompetisi atau bersaing bagi moda yang berbeda-beda.

Garis start yang sama atau level playing field dalam dunia transportasi dapat diartikan sebagai tingkat pembangunan infrastruktur yang berimbang antar moda transportasi yang berbeda. Di negara kita misalnya kemapanan infrastruktur jalan raya jelas jauh melebih kemapanan infrastruktur jalan rel. Melepaskan kedua moda angkutan penumpang ini untuk bersaing dalam pasar bebas jelas bukan mengabaikan aspek keadilan yang ada pada asas playing field.

Dari segi pembiayaan, asas level playing field tidak melarang adanya subsidi bagi moda yang tertinggal. Pemberian PSO sebagai subsidi bagi angkutan umum kereta api misalnya adalah hal yang direkomendasikan lewat penerapan asas ini. Asas ini juga merekomendasikan pungutan atau charging untuk menginternalisasi segala dampak negatif yang ditimbulkan kendaraan bermotor pribadi.

Intinya, di luar masalah kesenjangan dalam pembangunan infrastuktur, persaingan antara moda kendaraan bermotor pribadi dan angkutan umum hanya akan adil pada saat subsidi BBM dihapuskan dan PSO untuk angkutan umum diberlakukan.

Revisi Normatif

Undang-undang yang mengatur sistem transportasi nasional di negara-negara maju seringkali justru tanpa malu-malu menganak-emasan sistema angkutan umum. Di Perancis misalnya, pasal 3 undang-undang haluan transportasi nasional (LOTI) secara eksplit menegaskan bahwa dalam angkutan penumpang, kebijakan transportasi nasional (Perancis) memberikan prioritas pada pembangunan dan pengembangan angkutan umum.

Mekanisme pasar pada dasarnya juga melandasi undang-undang sistema transpotasi nasional di negara-negara tersebut. Pada prakteknya hal ini dilakukan dengan terlebih dulu menempatkan moda transportasi yang berbeda pada garis start persaingan yang sama dengan secara eksplisit mengambil kebijakan diskriminatif misalnya lewat subsidia atau penerapan PSO yang menganakemaskan moda angkutan umum.

Kesimpangsiuran pembiayaan movilitas di negara kita nampaknya bukan hanya ada di level teknis atau lapangan di mana konsep mekanisme pasar yang dianut masih diselewengkan dengan penerapan konsep user payer yang jelas masih menguntungkan moda kendaraan bermotor pribadi.

Kesimpangsiuran pembiayaan ini juga terjadi di level normatif Sistranas sendiri: mekanisme pasar yang dianut dalam Sistranas tidak secara eksplisit diperkuat dengan asas level playing field yang akan mendasari aspek keadilan dari mekanisme tersebut.

Sumber : Joko Purwanto adalah  blogger & peneliti bidang transport ekonomi di Transport & Mobility Leuven, Belgia.

[English Free Translation]
The topic of how to finance the trip or mobility in our country is an issue that will never be covered over.

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...