Saturday, February 26, 2011

[KU-008/2011] Kisah Cinta dalam 1.256 Butir Beras

Siti Fatimah, Putri Palembang itu, akhirnya terjun ke Sungai Musi, menyusul sang kekasih, seorang bangsawan Tionghoa bernama Tan Bun An, yang telah lebih dulu terjun ke sungai itu.

Hidup di tengah masyarakat Palembang selama ratusan tahun, kisah ini kini tertulis dalam 1.256 butir beras. Sedramatis Romeo dan Juliet yang ditulis sastrawan Inggris Shakespeare, kisah cinta yang diyakini terjadi pada zaman Kerajaan Sriwijaya itu berakhir tragis.

Kisah tersebut diawali dari keinginan Tan Bun An untuk memperistri Siti Fatimah meskipun mereka berbeda etnis. Saat melamar, ayah Siti Fatimah mengajukan syarat untuk menyediakan sembilan guci berisi emas.

Keluarga Tan Bun An rupanya setuju dengan syarat itu dan mengirimkan sembilan guci berisi emas ke Palembang. Karena khawatir akan ancaman perompak, emas-emas dalam guci itu ditutup dalam asinan sawi.

Sesampainya di tanah Sriwijaya, Tan Bun An pun terkejut saat melihat guci berisi asinan sawi. Kecewa dan marah, guci-guci tersebut ia lempar ke Sungai Musi. Satu guci pecah saat dilempar dan tampaklah kepingan emas yang dia minta.

Melihatnya, Tan Bun An langsung terjun ke Sungai Musi, mungkin untuk menyelamatkan guci-guci tersebut. Saat itulah, Siti Fatimah ikut terjun ke sungai, konon sembari berkata, "Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburanku."

Gundukan tanah kering yang muncul kemudian menjadi tanda keabadian cinta dua insan berbeda etnis itu. 

Daratan di tengah Sungai Musi itulah yang dikenal sebagai Pulau Kemaro. Kemaro atau Kemarau dalam Bahasa Indonesia berart i tak pernah tergenangi air. Berada di tengah Sungai Musi, pulau ini memang tidak pernah digenangi air walaupun air di sungai Musi pasang.

Kini, pulau seluas sekitar 24 hektar sekitar lima kilometer di sebelah Timur Jembatan Ampera itu menjadi salah satu p usat wisata dan spiritual di Palembang. Setiap perayaan tahun baru Imlek dan Cap Go Meh, pulau tersebut dikunjungi ribuan umat Tridharma. Di pulau tersebut memang terdapat komplek Klenteng Hok Tjing Rio dan kuil Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin).

Lebih daripada sisi dramatisnya, kisah ini sebenarnya mencerminkan betapa erat hubungan etnis pribumi dan Tionghoa di Bumi Sriwijaya itu. Hingga saat ini, hubungan antaretnis itu berlangsung nyaris tanpa kendala. 

Setelah 32 tahun represi budaya yang diberlakukan Orde Baru, Imlek dan Cap Go Meh di Palembang berlangsung meriah. Kota Palembang dimeriahkan oleh warna-warni merah dan lampion.

"Legenda Pulau Kemaro ini sebenarnya berpesan bahwa hubungan baik etnis pribumi dan Tionghoa di Palembang telah berlangsung sangat lama. Di masyarakat sendiri tak pernah ada diskriminasi," kata penyanyi yang banyak melantunkan Bahasa Mandarin Meliana Pancarani atau Rani (33) di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (17/2/2011) lalu.

Rani menuliskan legenda Terbentuknya Pulau Kemaro itu pada 1.256 butir beras berukuran tak lebih dari 0,5 sentimeter. Semuanya ditulis dalam aksara mandarin. Karya ini berhasil menyabet rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai tulisan aksara mandarin dalam media beras terbanyak.

Sejarah
Berdasarkan buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembangdengan editor Budayawan Djohan Hanafiah, Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya telah dikenal oleh masyarakat Tiongkok setidaknya sejak abad ke-VII.

Seorang pendeta Tiongkok bernama I-tsin g di abad itu menggambarkan Sriwijaya dengan seribu pendeta Budha, istana sebagai pusat kerajaan yang dikelilingi pedesaan. Tahun 1225, Kota Palembang dikenal sebagai Po-Lin-Fong dalam catatan kekaisaran Tiongkok.

Hingga saat ini, jumlah warga Tionghoa di S umatera Selatan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Eratnya hubungan antaretnis itu tahun ini juga ditandai dengan peringatan Imlek 2562 yang dirayakan di kediaman Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Jumat (19/2).

Perayaan ini juga dihadiri oleh wakil Kedutaan Besar China, Uskup Agung Palembang Mgr Aloysius Sudarso SCJ, dan 1.500 tamu dari 27 paguyuban sosial masyarakat Tionghoa di Palembang.

Di Palembang, pertalian darah antara pribumi dengan etnis Tionghoa sangat kuat. Delapan ratus tahun lalu, Kaisar Tiongkok mengirim salah satu putrinya untuk menjadi istri Raja Sriwijaya, katanya dalam sambutan.

Perayaan tersebut juga salah satu upaya untuk mendukung kerukunan antaragama dan antaretnis. Hal ini menjadi penting mengingat kondisi Indones ia yang dikoyak konflik berlatar agama di berbagai daerah. 

Cinta kasih antara Siti Fatimah dan Tan Bun An yang berbeda etnis pun bukanlah sekedar kisah cinta dramatis berakhir tragis yang menarik untuk diikuti. Kisah cinta ini mengabadikan keharmonisan ke hidupan yang beragam di sebuah kota.

Sumber : Kompas, 23.02.11. 

No comments:

Post a Comment

[KU-179/2021] Dirut KAI Commuter Mukti Jauhari Tutup Usia

  Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga besar KAI Group khususnya KAI Commuter hari ini berduka. Direktur Utama KAI Commuter Mukti Jauhari meningg...