MEDAN, KOMPAS.com - Selama
30 tahun terakhir, aset PT Kereta Api Indonesia Divre I Sumatera Utara seluas
sekitar 70.000 meter persegi yang berada di belakang Kantor Divre I Medan
berlahan dikuasai pihak ketiga.
Dewan Pimpinan Daerah
Serikat Pekerja Kereta Api Divre I Sumut berharap manajemen mempertahankan aset
yang tersisa terutama lapangan parkir seluas sekitar 2.000 meter yang berada
persis di belakang Kantor Divre I yang juga terancam digunakan oleh pihak
ketiga.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) Divre I Sumut Mohamad Zailani,
Jumat (30/3/2012) mengatakan sebagai insan kereta api, pihaknya harus
mempertahankan hak milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Apalagi pembangunan di
belakang kantor PT KAI terus berlangsung.
"Lahan parkir
sebenarnya ada 4.000 meter persegi, yang 2.000 sudah dikelola pihak ketiga.
Kami karyawan PT KAI berharap lahan bisa diambil alih. Kami sangat terganggu
dengan polusi yang terjadi akibat pengelolaan yang dilakukan pihak ke-3
itu," kata Zailani.
Sebelumnya utusan dari PT
Arga Citra Kharisma (ACKH), pengelola lahan, telah datang ke kantor PT KAI
untuk meminta ijin pembangunan di lokasi parkir. "Kami resah dengan
situasi ini. Kami berharap jangan sampai lahan parkir juga jatuh ke tangan
pihak ketiga," tutur Zailani.
Sengketa lahan PT KAI
bermula pada tahun 1981 ketika lahan PT KAI dilepaskan ke Pemko Medan seluas
34.776 meter persegi dari 70.000 meter persegi yang ada di kawasan Jalan Jawa,
Jalan Timor, Jalan Veteran, dan Jalan Madura, Medan. PT KAI mendapat kompensasi
berupa pembangunan perumahan baru sebanyak 228 unit di lahan 36.000 hektar
sisanya.
Karena Pemko Medan tidak
memiliki dana, Pemko Medan memberi kesempatan pada pihak ke-3 yakni PT Inanta
untuk membangun perkantoran di area 34.776 hektar dengan status hak guna
bangunan serta membangun 288 unit perumahan karyawan di lahan PT KAI serta
beberapa kewajiban lain.
Namun PT Inanta tidak bisa
melakukan kuwajibannya sehingga hak membangun perkantoran dengan status hak
guna usaha dan kuwajiban membangun 288 unit perumahan jatuh pada PT Bonauli
Real Estate.
Pada tahun 2004, PT KAI
mengajukan permohonan pada Menteri BUMN agar proses pembangunan perumahan
dikonversi dalam bentuk uang tunai mengingat kebutuhan KAS PT KAI. Namun
belakangan justru PT ACKH yang melakukan proses pembangunan dan memberikan
kompensasi uang tunai. Kami sendiri tidak tahu bagaimana hak pengelolaan lahan
berubah dari PT Boauli ke PT ACKH, tutur Kuasa Hukum SPKA Divre I Medan Yudi.
Humas PT ACKH Budi Dharma
mengatakan pihaknya telah mengajukan kasus sengketa ini ke Pengadilan Negeri
Medan. PN Medan menyatakan PT ACHK berhak atas lahan 70.000 meter itu pada
tahun 2011.
Alasannya, PT ACHK telah menyelesaikan kuwajibannya dengan membayar
konsinyasi Rp 13 miliar pada tahun 2004 untuk lahan 34.000 hektar dan
memberikan ganti rugi lahan Rp 54,143 miliar untuk lahan sisanya yang waktu itu
juga digunakan oleh 331 keluarga sesuai surat Kementrian BUMN.
Kalau SPKA bicara soal ini
lagi tidak tepat sebab Kementrian BUMN telah setuju pembangunan rumah
dikonversi uang senilai Rp 13 miliar tahun 2004, kata Budi. Dana itu masih
berada di PN Medan.
Pengadilan juga menyatakan
putusan bisa dilaksanakan meskipun ada upaya banding, kasasi, atau peninjauan
kembali. Dengan demikian PT ACHK terus melakukan pembangunan kawasan
perekonomian terpadu yang berada di belakang Kantor PT KA Divre I Sumut.
Pengadilan Tinggi Medan juga
menguatkan putusan itu. Namun PT KAI tetap mengajukan banding ke Mahkamah Agung
yang hingga kini putusannya belum turun.
Selama proses pengalihan
aset berlangsung 30 tahun terakhir, tercatat telah 15 kali kepala divre
berganti, namun kasus justru berlarut-larut. PT KAI tidak pernah menerima dana
konversi itu, kata Yudi. Pihaknya telah melaporkan kasus ini ke Kejaksaan
Tinggi Sumut dan KPK.
"PT ACKH menyatakan
siap dimintai keterangan jika diminta oleh penegak hukum. Kami tunduk dan
menghormati hukum," kata Budi.
Kepala Sub Seksi Humas
Kejaksaan Tinggi Sumut Andre Simbolon mengakui Kejati Sumut telah menerima
laporan adanya dugaan penyelewengan pengalihan lahan PT KAI. Kami masih
menelusuri kasus ini apalah ada benang merahnya dengan tindakan yang melawan
hukum, kata Andre. Meskipun awalnya kasus perdata, kata dia, sangat
dimungkinkan kasus masuk ke ranah pidana.
Sumber : Kompas, 30.03.12.
[English Free Translation]
Over the past 30 years, the
assets of PT Kereta Api Indonesia Divre I North Sumatera Province covering
approximately 70,000 square meters behind Office controlled by third party.
During the process of
transfer of assets for over 30 years, there have been 15 times the EVP changed,
but the case would drag on. PT KAI had never accepted the conversion of funds.
It has been reported the case to the High Court and KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) of North Sumatera.
No comments:
Post a Comment