Oleh : Lucia Sapto Wendah Wisanti | 07-Aug-2007, 22:09:44
WIB
KabarIndonesia - Pada zaman dahulu kala, di suatu wilayah
di Jawa
Tengah, ada sebuah desa yang dihuni oleh orang-orang yang rajin dan
tekun. Mereka hidup dengan rukun dan saling membantu. Tua dan muda, laki-laki
dan perempuan, semua senang bergotong royong dalam melakukan tugas bersama..
Seperti pada suatu pagi, ada seorang penduduk yang memiliki hajat pesta
syukuran.
Tetangga-tetangga pun banyak datang berdatangan. Para
lelaki menyumbangkan tenaga dengan membangun tenda tratag,
mempersiapkan hiburan gamelan, dan sebagainya. Sedangkan kaum perempuannya pun
dengan senang hati berkumpul untuk membantu mempersiapkan memasak. Mereka
merencanakan untuk menyediakan makan yang lezat dan enak. Untuk itu, diperlukan
berbagai macam peralatan memasak, seperti pisau, panci, dan banyak lagi. Maka
para perempuan pun membawa pisau masing-masing dari rumah.
Ada seorang ibu yang sedang mengandung, yang ingin ikut
membantu dalam kegiatan memasak bersama itu. Dia pun bermaksud membawa sebuah
pisau dari rumahnya. Tetapi sayangnya dia tidak dapat menemukan sebuah pisau
pun di dapurnrya. Maka diputuskannya untuk meminjam pisau dari suaminya. Dia
bergegas menemui suaminya, meminta izin untuk meminjam pisau.
"Pak, bolehkan aku meminjam pisaumu?" tanya si
istri lembut.
"Pisauku? Untuk apa, Bu?" suaminya ganti
bertanya heran. "Bukankah di dapur Engkau memiliki beberapa pisau, mengapa
Engkau meminjam pisauku?" sambungnya. "Aku memang memiliki beberapa
pisau. Tetapi entah mengapa aku tidak bisa menemukannya barang satu pun. Aku
memerlukannya untuk membantu tetangga kita, untuk memasak bersama. Boleh, ya,
Pak?" kata si istri.
Suaminya berpikir sejenak, menghela nafas, kemudian
akhirnya berkata, "Baiklah. Engkau boleh meminjam pisauku. Tetapi ingat,
Bu, jangan sekali-kali Engkau menyelipkannya di dadamu. Berbahaya. Apalagi
mengingat Engkau sedang mengandung anak kita. Daripada terjadi hal-hal yang
tidak kita inginkan, jagalah selalu pisauku ini."
Si istri mengangguk menurut. "Baik, Pak, terima
kasih. Pisau ini akan kujaga, tidak akan hilang." katanya. "Kalau
begitu aku berangkat dulu ke rumah tetangga, ya, Pak."
"Baik, Bu, berhati-hatilah. Sekali lagi, jangan
Kausimpan pisau itu dengan cara menyelipkannya di dadamu." Si istri
kembali mengangguk dan beranjak pergi menuju ke rumah tetangganya. Maka
perempuan itu pun mulai memasak bersama dengan perempuan-perempuan lain. Pada
waktu memasak, semuanya sibuk, dan tak ada tempat untuk menyimpan pisau. Tanpa
disadari, perempuan tadi menyimpan pisau suaminya di dadanya. Rupa-rupanya dia melupakan
nasihat suaminya tadi. Dan karena dirasa semuanya baik-baik saja, dan ketika
kegiatan memasak sudah selesai, dia pun pulang ke rumahnya.
Beberapa bulan berlalu, tibalah waktunya bagi perempuan
itu untuk melahirkan. Alangkah terkejutnya dia, ketika mendapati anaknya
berwujud seekor ular! Bukan seorok bayi, melainkan binatang melata yang begitu
panjang. Kedua orang tuanya segera memahami, bahwa ini adalah akibat perbuatan
si istri yang menyelipkan pisau di dadanya sewaktu mengandung. Maka segera setelah
kelahiran anaknya itu, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Yang Kuasa, apa
yang sebaiknya mereka lakukan.
Yang Kuasa pun memberi jawaban atas pertanyaan mereka,
"Pisau itu bukan pisau biasa, dan anakmu pun bukan ular biasa. Dia adalah Baruklinting,
salah satu utusanku. Bawalah dia ke bukit di desa, dan biarlah dia bertapa
dengan cara mengelilingi bukit itu dengan tubuhnya. Seluruh tubuhnya haruslah
dapat mengelilingi bukit itu."
Maka berangkatlah Baruklinting ke bukit desa, dan
mengelilingi bukit itu untuk bertapa. Walaupun bukit itu tidak begitu besar,
dan tubuh Baruklinting pun cukup panjang, akan tetapi seluruh panjang tubuhnya
belum mencukupi untuk mengelilingi bukit tersebut. Ujung kepalanya belum dapat
bertemu dengan ujung ekornya, hanya kurang beberapa sentimeter. Tetapi
Baruklinting bertekad untuk mematuhi perintah Yang Kuasa. Maka dia pun
menjulurkan lidahnya, dan dengan demikian seluruh bukit itu dapat dijangkaunya.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti.
Baruklinting bertapa selama bertahun-tahun lamanya. Kedua orang tuanya sudah
meninggal, dan orang-orang yang hidup di desa pun sudah banyak yang berganti.
Tanah tempatnya bertapa, bahkan tubuhnya sendiri, mulai tertutupi rumput.Suatu
saat, penduduk desa itu berniat untuk mengadakan kegiatan bersih desa.
Sebagai ungkapan syukur atas segala rezeki yang diterima,
juga permohonan agar dijauhkan dari marabahaya, penduduk desa akan membersihkan
seluruh pelosok desa. Maka setiap orang pun bergotong-royong untuk mengikuti
kegiatan tersebut. Ada yang menyiangi rumput, merapikan tanaman, bahkan ada
yang membersihkan sungai. Ada juga beberapa warga yang sampai di kaki bukit
untuk membersihkan daerah itu. Mereka bekerja dengan menggunakan celurit,
parang, dan lain-lain.
Siang itu, saat melepas penat, beberapa penduduk
beristirahat sambli duduk-duduk di kaki bukit. Tanpa disengaja, seseorang
menancapkan parangnya ke tanah. Betapa terkejutnya dia dan penduduk desa lain,
karena mendapati darah keluar dari tanah yang mereka duduki. Mereka pun segera
membersihkan rerumputan yang ada, dan mereka mendapati seekor ular mengelilingi
bukit tersebut.
"Kawan-kawan, marilah kita sembelih ular ini, dan
dagingnya kita buat pesta untuk seluruh desa!" ajak seorang dari mereka.
Semua menyetujui rencana itu. Kaum perempuan kembali disibukkan dengan kegiatan
memasak bersama, sedangkan kaum laki-laki juga sibuk mempersiapkan keperluan
pesta. Mereka bergotong royong bersama. Maka mereka pun menyembelih ular itu,
memotong-motongnya menjadi bagian kecil-kecil untuk disantap bersama. Daging
ular itu begitu besar, sehingga setiap warga desa dapat menikmati masakan
daging ular tersebut.
Dari sekian banyak potongan daging-daging kecil itu,
tanpa disadari, ada sepotong daging yang menjelma menjadi seorang bocah laki-laki.
Dialah Baruklinting, utusan Yang Kuasa, yang belum menyelesaikan pertapaannya.
Dia kurus, dekil, dan penuh kudis di sekujur tubuhnya, bahkan menebarkan bau
yang tidak sedap.
Kehadirannya begitu mencolok di tengah-tengah pesta desa,
di mana orang-orang lain berdandan rapi dan harum. Mereka makan dan minum
sepuasnya, berpesta bersama. Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa, dan
menemui beberapa orang warganya.
"Tuan, nampaknya Tuan sedang berpesta. Bolehkan saya
meminta sedikit makanan?" tanyanya kepada seorang laki-laki gagah. Lelaki
itu mengernyitkan dahinya, lalu menutup hidungnya karena bau yang tidak sedap
dari tubuh Baruklinting. "Siapa kau?" laki-laki itu balas
bertanya."Namaku Baruklinting, Tuan. Saya melihat ada banyak makanan di
sini, dan saya lapar sekali, Tuan. Kasihanilah saya," katanya memelas.
"Baruklinting? Aku tidak mengenalmu. Engkau bukan
penduduk desa ini. Dengan tubuh dekil, kudisan, dan bau seperti itu, Engkau
tidak pantas makan bersama-sama dengan kami. Pergilah!" laki-laki itu
mengusirnya.
Baruklinting kemudian mendekat kepada seorang perempuan
di sana."Nyonya, bukankah Nyonya yang memasak semua makanan ini?"
tanyanya lemah. Perempuan itu memandang Baruklinting dengan heran. Dia pun
segera menutup hidungnya, tidak tahan dengan bau tubuh Baruklinting.
"Memang betul, kami kaum perempuan yang memasaknya. Kaum lelaki
mendepatkan seekor ular yang besar, cukup untuk dimakan seluruh penduduk desa
ini. Maka kami pun memotong-motong daging ular itu dan memasaknya"
jawabnya. "Bolehkah aku minta sedikit masakan Nyonya?" tanya
Baruklinting. Perempuan itu menggeleng.
"Tidak, tidak. Pergilah kau, tubuhmu kudisan dan
bau. Selera makan penduduk desa ini akan hilang karenamu. Pergilah!"
perempuan itu pun mengusir Baruklinting pergi.
Untuk ketiga kalinya, Baruklinting mendekat ke arah
penduduk desa. Kali ini dia menuju ke seorang anak laki-laki. "Kak,
bolehkah aku ikut makan bersamamu? Maukah engkau membagi sedikit makananmu
untukku?" tanyanya. Anak laki-laki itu terkejut, dan langsung pergi tanpa
menjawab. Dia merasa takut dan jijik melihat rupa Baruklinting. Baruklinting
merasa sedih, karena penduduk desa itu tidak mau berbagi, dan hanya menilai
seseorang berdasarkan penampilan luar saja. Semua hanya mementingkan pesta dan
senang-senang, tanpa menghiraukan orang yang kekurangan.
Maka Baruklinting kemudian mengambil sebatang lidi dan
membawanya ke tengah-tengah pesta. Orang-orang merasa heran atas tingkah
lakunya. Baruklinting menancapkan lidi itu di tanah, kemudian berkata dengan
lantang, "Hai kalian semua, kalian yang gagah dan pemberani, coba lihat ke
sini. Aku mengadakan sayembara bagi kalian : Siapa yang bisa mencabut lidi ini,
akan mendapat hadiah!" kata Baruklinting dengan entengnya. Setiap orang di
situ terperangah. Mencabut sebatang lidi dari tanah, yang ditancapkan oleh
seorang bocah kurus dekil, tentu bukanlah hal yang sulit.
Mereka adalah orang-orang yang sehat dan berbadan tegap.
Dan setiap orang menginginkan hadiah.Maka satu per satu mulai mencoba mencabut
lidi kecil itu. Tetapi anehnya, tidak ada satu orang pun yang mampu
melakukannya. Dari anak kecil, pemuda kekar, ibu rumah tangga, sampai
kakek-kakek, semua tidak mampu mencabut lidi itu. Lidi tersebut seolah-olah
memiliki akar kuat yang menancap di tanah itu.
Ketika setiap orang sudah menyerah, maka Baruklinting pun
maju ke depan dan berkata "Wahai semua penduduk desa, ketahuilah, aku
adalah utusan dari Yang Kuasa yang sedang bertapa di kaki bukit. Pertapaanku
telah kalian ganggu. Kalian memasak dagingku untuk pesta ini. Dan yang lebih
memprihatinkan, kalian tidak mau berbagi kepada sesama yang kekurangan.
Seharusnya kalian malu, karena menilai anak kudisan tidak layak makan bersama,
padahal dia juga ciptaan Tuhan." Setiap orang merasa sadar dan
malu."Maka hari ini Yang Kuasa akan menghukum kalian."
Baruklinting mecabut lidi tersebut, dan dari lubang bekas
lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan mulai membanjiri
pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian menyelamatkan diri. Tetapi terlambat,
air sudah menggenangi seluruh daerah itu, menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat
itu, dari kata amba yang berarti luas, dan rawa, daerah di sekitar
itu dikenal dengan nama Ambarawa.
Itulah asal mula nama Kota Ambarawa, yang
mengingatkan kita pada legenda Baruklinting dan nasihatnya untuk tidak
membeda-bedakan sesama yang membutuhkan pertolongan. (Diceritakan kembali oleh
Lucia).
Sumber : Kabar Indonesia, 07.08.07 / Kredit Foto : The Small Journey File..
Catatan,
Sehubungan dengan minat admin blog ini, untuk
mengumpulkan salinan cerita sejarah Ambarawa dan kota-kota lainnya, demikian
pula riwayat-riwayat kerajaan yang pernah ada di Tanah Air, dengan senang hati
kami menerima saran dan kritik Pembaca sekalian.
Untuk ihwal Ambarawa, kami rujuk untuk membaca : [KU-351/2014]
Kereta Uap Ambarawa, Lorong Waktu Menuju Masa Lalu – 25 Desember 2014, [KG-340/2014]
Ambarawa Amazing Bingitz ! (edisi cangkru'an) – Minggu, 14 Desember
2014, [KG-339/2014] Ambarawa Amazing
Bingitz ! (edisi renovasi) -
Sabtu, 13 Desember 2014, [KU-287/2014] Gaet Belanda, Museum KA
Ambarawa Akan Jadi Yang Terbesar di Asia – Minggu, 19 Oktober 2014 dan
[KG-279/2014] Amazing Ambarawa ! – Sabtu, 11 Oktober 2014.
[English Free Translation]
By accident, we find the story of Ambarawa. Fictitious or
not, we do hope someone who experience and good understanding can give us
further feedbacks. If the story matched with the existing one;s circulating in
the community, may be useful. Share permission. Thanks a lot.
No comments:
Post a Comment