KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan pandemi COVID-19 mengubah kehidupan kita sehari-hari, Microsoft, bekerja sama dengan TechRepublic Premium, menganalisis dampak pandemi terhadap gaya kerja, operasi bisnis, dan bagaimana situasi ini telah mempercepat peningkatan adopsi teknologi secara keseluruhan, mewujudkan cara kerja baru untuk new normal (adopsi kebiasaan baru).
Melalui studi penelitian kualitatif, whitepaper yang berjudul "Transitioning Asia-Pacific to a New Normal of Work" memberikan para pemimpin bisnis dan thought leaders di berbagai industri - perbankan, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, penelitian, dan konsultasi profesional – kesempatan untuk berbagi wawasan mereka tentang bagaimana budaya organisasi di Asia-Pasifik berkembang ke paradigma kerja baru.
“Ketika berbagai belahan dunia dilanda COVID-19, kehidupan dan pekerjaan berubah dalam sekejap bagi semua orang,” kata Kady Dundas, Head of Marketing, Microsoft Teams, Microsoft Corp.
“Tiba-tiba kami beralih dari bekerja di ruang konferensi di kantor ke ruang keluarga di rumah, dan kini sangat tergantung pada video. Kami sekarang memiliki sekitar 200 juta peserta meeting setiap hari, ini setara dengan 4,1 miliar meeting minutes. Poin-poin data tersebut menunjukkan pergerakan yang luar biasa ke kebijakan bekerja jarak jauh,” katanya dalam keterangan resminya Rabu (29/7/2020).
Teknologi membantu
Di tengah pandemi, riset Microsoft menemukan berbagai organisasi bisnis memprioritaskan adopsi teknologi untuk memungkinkan lingkungan kerja jarak jauh dan transformasi bisnis secara keseluruhan, tapi perubahan itu tidak didorong teknologi saja.
"Sisi teknologi relatif mudah," kata Dr Joseph Sweeney, IBRS Advisor and Future of Work Expert. “Ketika COVID-19 mulai menyebar dan semua orang harus mulai bekerja dari rumah, Microsoft Teams adalah aplikasi yang jelas dan alami untuk digunakan. Solusinya sudah ada dan akrab bagi siapa saja yang menggunakan Microsoft Office 365. Penggunaannya langsung meroket. "
Perubahan pola pikir yang drastis berperan mendorong organisasi untuk memikirkan kembali cara-cara bekerja, bagaimana individu, kelompok, dan manajer berinteraksi satu sama lain. Perubahan manajemen juga perlu menyesuaikan dengan pekerjaan new normal ini dan memantau dampak emosional dari perubahan tersebut.
"Sering kali keengganan untuk mengizinkan pekerjaan jarak jauh berkaitan dengan konsep yang sudah ketinggalan zaman tentang perlunya manajer mengelola karyawannya secara langsung. Misalnya, Anda harus bisa 'melihat' orang untuk memastikan mereka melakukan pekerjaannya," kata Sarah Kaine, Associate Professor, Management Discipline Group and Core Member, CBSI - Centre for Business and Social Innovation, University of Technology, Sydney.
Beberapa tren baru yang perlu diwaspadai oleh organisasi bisnis pada saat mereka merencanakan pekerjaan new normal tersebut meliputi: Pertama, risiko burn out. Perusahaan harus memperhatikan persepsi baru tentang availability atau jadwal kerja.
Menurut Joe Sweeney, IBRS Advisor dan Future of Work Expert, satu respons umum dari para pekerja adalah "bekerja lebih eras tanpa henti." Mereka yang sudah mulai bekerja dari rumah menerima panggilan dari bos mereka hingga larut malam, menggarisbawahi kebutuhan untuk membuat batas-batas untuk komunikasi di luar jam kerja.
Kedua, kekhawatiran perkembangan karir. Organisasi bisnis perlu menilai kembali bagaimana kinerja dapat diukur. Alat kolaborasi bisa mengukur aktivitas tapi bukan nilai yang diberikan seseorang kepada perusahaan. Organisasi bisnis sekarang menyadari bahwa para "introvert" bisa bekerja dengan baik saat bekerja dari rumah, sedangkan para ekstrovert, yang dulunya "pemain bintang" di kantor, tidak lagi menjadi pusat perhatian.
Ketiga, perlunya fleksibilitas dan empati. Penelitian menemukan bahwa hampir setengah (47 persen) orang yang bekerja dari rumah melaporkan gangguan di rumah sebagai tantangan. Organisasi serta manajer dan tim harus ikut membantu para karyawan untuk menciptakan lingkungan yang bebas gangguan. tetapi juga lebih fleksibel dalam pengiriman pekerjaan serta berempati dengan tantangan orang untuk bekerja dari rumah.
Keempat, pelatihan dan kesiapan teknologi - Saat teknologi menjadi kebutuhan pokok bagi karyawan, pelatihan harus terus dilakukan guna membuka potensi penuh dari perangkat keras dan lunak. “Ada yang menolak perubahan - biasanya para petinggi, karena mereka tidak pernah perlu belajar cara menggunakan teknologi. Mereka selalu memiliki dukungan tim TI di kantor ketika mereka membutuhkannya,” kata Dr. Nitin Paranjape, CEO and Founder, MacOffice Services PrivateLimited dari India.
Kelima, memasukkan unsur sosial. Organisasi bisnis juga perlu fokus pada kebijakan dan budaya perusahaan daripada penggunaan teknologi saja. Microsoft Work Trend Index3 yang dirilis pada bulan April 2020 mencerminkan interaksi manusia secara berkelanjutan - jumlah orang yang menggunakan video pada rapat Microsoft Teams meningkat dua kali lipat dengan bekerja dari rumah. Selain memungkinkan konferensi video, perusahaan perlu menemukan cara untuk mendorong inovasi, ide kreatif, dan persahabatan untuk membuat karyawan merasa sebagai bagian yang dihargai dalam
organisasi.
"Di Indonesia, sekarang sudah biasa melihat anak-anak atau hewan peliharaan tiba-tiba muncul di pertemuan virtual," kata Wahjudi Purnama, Business Group Lead, Modern Work, Microsoft Indonesia. “Keluarga sangat penting dan saya percaya kita semua mengakui tantangan-tantangan pada saat bekerja dari rumah. Sebagai perusahaan, kami berusaha untuk berempati untuk kebutuhan karyawan dan berusaha untuk memberikan work-life balance yang baik."
Pada panggilan penghasilan FY20 Q4 Microsoft4 yang melaporkan peningkatan pendapatan 6 persen dalam Produktivitas dan Proses Bisnis tahun fiskal ini, Satya Nadella, Chief Executive Officer Microsoft menyatakan, “Lima bulan terakhir telah menunjukkan bahwa intensitas teknologi adalah kunci ketahanan bisnis. Organisasi yang membangun kemampuan digital mereka sendiri akan pulih lebih cepat dan muncul dari krisis ini lebih kuat. "
Tidak diragukan lagi, COVID-19 telah mempercepat transisi ke cara bekerja baru dan mengasah fokus pada inovasi di seluruh Kawasan Asia Pasifik. Pada saat yang sama, lingkungan sosial dan budaya memiliki dampak yang cukup besar bagaimana organisasi bisa merangkul norma kerja yang baru.
Ada beberapa organisasi yang masih dalam proses menyelaraskan kepada protokol pemerintah nasional terhadap perubahan gaya pekerjaan. Hidekazu Shoto, Guru Innovative English and Information and Communications Technology (ICT), Ritsumeikan Primary School di Jepang berbagi bagaimana sekolahnya harus menemukan cara untuk menanggapi perubahan lingkungan peraturan di sekitar pekerjaan yang telah dilaksanakan pemerintah.
“Kami baru saja memulai sistem waktu kerja baru, untuk mengikuti undang-undang ketenagakerjaan baru di Jepang. Mengingat ini, dan keadaan masing-masing guru di rumah, kami harus memikirkan cara fleksibel untuk mematuhi peraturan-peraturan ini,” kata Hidekazu Shoto.
Di negara-negara di mana perjalanan antara rumah dan kantor cukup jauh, organisasi bisnis akan menemukan lebih banyak karyawan yang ingin bekerja dari rumah. "Seruan ini seiring dengan kenyamanan para profesional dalam mengatur waktu mereka sendiri," kata Andy Khoo, Maybank Head of Customer Experience, di Singapore. “Tidak tersedianya banyak transportasi serta waktu yang dihabiskan di jalan - terutama di negara-negara seperti Indonesia, Thailand dan India, berarti perjalanan pulang pergi bisa memakan waktu yang banyak. Di negara lain, seperti Singapura, permintaannya karena para karyawan menyadari mereka bisa lebih produktif kalau bekerja dari rumah."
Sementara itu, negara-negara dengan real estate mahal - seperti Australia dan Singapura - akan menemukan manfaat finansial dalam transisi ke model di mana ruang kantor dibagikan antara karyawan yang menghabiskan sebagian waktu di kantor, dan sebagian lagi bekerja dari rumah.
Pendekatan hibrida pekerjaan yang baru ini mencerminkan bagaimana garis pekerjaan dan kehidupan pribadi mulai buram. Indeks Tren Kerja kedua Microsoft5 menemukan bahwa di luar jam kerja 9 pagi - 5 sore, chat Microsoft Teams di luar hari kerja biasa (dari 8-9 pagi dan 6-8 malam) telah meningkat lebih dari waktu lainnya sepanjang hari, antara 15% dan 23%. Pekerjaan akhir pekan juga melonjak – chatting dengan tim pada hari Sabtu dan Minggu meningkat lebih dari 200%.
Untuk meningkatkan kinerja tempat kerja di masa depan, organisasi bisnis perlu mempercepat proses pengembangan kebijakan yang memungkinkan individu bebas dari standar jam 9.00 hingga 17.00, menetapkan ekspektasi yang wajar mengenai ketersediaan mereka pada jam kerja dan meninjau ulang indikator kinerja.
Alicia Tung, Chief Operating Officer, Great Place to Work Institute di Tiongkok, mengatakan, "Kalau menyangkut emosi (di perusahaan), kita belum bisa mengukur, tapi prosesnya sudah mulai. Dalam waktu sepuluh tahun, jika saya boleh membuat prediksi, sekitar organisasi bisnis akan memilikih 60-40% dalam hal bekerja di kantor dibandingkan dengan bekerja dari jarak jauh."
Para pemimpin bisnis harus meninjau kembali fokus mereka pada kebijakan perusahaan yang memungkinkan strategi keamanan yang kuat dan kolaborasi yang efektif. Karena dengan berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah, langkah selanjutnya berfokus pada kebijakan ini pekerjaan hibrida di new normal.
Editor: Dadan M. Ramdan.
Sumber : Kontan, 29.07.20.
[English Free Translation]
With a COVID-19 pandemic transforming our daily lives, Microsoft, in collaboration with TechRepublic Premium, analyzes the impact of pandemic on work style, business operations, and how this situation has accelerated the improvement of overall technological adoption, manifesting new ways of working for new normal (adoption of new habits).