BALIKPAPAN – Maskur, seorang awak kapal, sedang
duduk-duduk di dermaga pelabuhan Semayang, Balikpapan, di pantai timur
Kalimantan. Sambil mengupas mangga, ia merenungkan sebuah pertanyaan pelik.
Berapa lama lagi Cina bisa pulih dari kelesuan ekonomi, dan kembali memborong
batu bara Indonesia?
Sejak industri batu bara Indonesia melonjak tahun 2007,
Maskur sudah beberapa kali keliling dunia sambil bekerja di kapal-kapal dagang.
“Saya pernah ke Spanyol, Italia, Amerika,” kenangnya. “Paling sering sih ke
Cina,” tambahnya. Tapi sekarang, ia tak lagi sering ke sana.
Indonesia adalah eksportir batu bara termal terbesar di
dunia. Batu bara jenis ini adalah varietas low-grade yang dipakai sebagai bahan
bakar pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, seiring dengan perlambatan
pertumbuhan ekonomi Cina, daerah tambang batu bara di Kalimantan Timur dan
lainnya mulai merasakan dampaknya.
Pertanyaan timbul: apakah booming belanja konsumen dalam
beberapa tahun terakhir ini bisa mengimbangi kemerosotan permintaan batu bara,
minyak sawit, dan komoditas ekspor lain? Bisakah kita terus-menerus menikmati
booming ekonomi?
Sementara harga batu bara dunia telah jatuh sekitar 20%
tahun ini. Dalam bisnis bermargin tipis ini, penurunan itu kian menambah
tekanan. Pertambangan besi di Australia sudah memangkas anggaran belanja,
karena harga bijih besi merosot seiring dengan penurunan permintaan dari Cina.
Wilayah pertambangan batu bara Appalachia di Amerika
Serikat (AS) juga menderita, karena harga batu bara top grade yang ditambang di
sana sudah terpapas separuhnya. Dari angka rekor $330 per ton pada awal 2011,
ke sekitar $170 per ton saat ini. Oleh karena itu, perusahaan pertambangan
terpaksa merumahkan ribuan pekerja. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan
menyatakan pailit.
Ban berjalan pengangkut batu bara di Kalimantan Timur ini
sedang tidak aktif. Industri batu bara Indonesia yang biasanya marak tengah
terpukul akibat penurunan permintaan dari Cina dalam beberapa bulan terakhir.
Di Indonesia, sebagai salah satu indikator utama
bagaimana pengaruh kelesuan di Cina terhadap negara lain, Asosiasi Pertambangan
Batubara Indonesia menurunkan proyeksi produksi 2012 sebesar 13%. Akibatnya,
pengiriman batu bara dari Balikpapan menurun tajam dalam beberapa bulan
terakhir. Maskur dan rekan-rekannya sesama awak kapal Andhika terpaksa
mengangkut semen. Kali ini, mereka hanya berlayar sampai Surabaya.
Kembali ke Kalimantan, Slamet Brotosiswoyo, Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Timur, merasa khawatir akan
nasib 30.000 buruh yang berpotensi kehilangan pekerjaan akhir tahun ini.
Perusahaan pertambangan kecil harus menutup sebagian operasional. Hal itu bisa
meredam laju belanja konsumen, dan memaksa perusahaan pertambangan lain
berpikir ulang tentang bagaimana mereka bisa mengolah batu bara dan menjual
dengan harga lebih tinggi.
“Krisis finansial global 2008 itu bukan apa-apa. Bagi
kami, yang penting adalah Cina,” kata Ferry Juliantono, Ketua Umum Asosiasi
Pemasok Energi dan Batubara Indonesia.
Para ekonom juga mulai menyuarakan peringatan. Kejatuhan
nilai ekspor komoditas telah membuat defisit transaksi berjalan yang parah
semakin parah. Hal ini bisa menambah beban pada rupiah, dan memicu inflasi.
“Indonesia terlalu tergantung kepada siklus komoditas global dan pertumbuhan
ekonomi Cina,” kata Prakriti Sofat, ekonom Barclays Capital di Singapura.
Sofat juga mencatat bahwa angka impor pun menurun,
walaupun data terbaru itu bisa jadi terpengaruh oleh dampak bulan puasa Agustus
lalu, saat impor merosot 24% dibanding setahun sebelumnya. Bagaimanapun, tren
itu menandakan para pengusaha mulai bertindak hati-hati, dengan meredam impor
barang-barang modal. Ini bisa menjadi peringatan awal bagi belanja konsumen,
yang menggerakkan sekitar 60% ekonomi Indonesia.
Sementara itu, di jalanan ibu kota Jakarta, buruh
berunjuk rasa memprotes upah minimum yang rendah serta menjamurnya tren pekerja
kontrak untuk menggantikan karyawan tetap. Hal ini bisa mengakibatkan
kesenjangan sosial yang semakin lebar—satu lagi isu hangat menjelang pemilihan
presiden 2014.
Pemilu akan menjadi titik balik yang sangat penting.
Setelah memikat investor dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia kini kembali
disorot. Masih banyak pihak yang melihat Nusantara sebagai negara yang akan
menjadi kekuatan ekonomi baru.
Mereka memandang Indonesia sebagai negara demokratis yang
pro-bisnis. Negara berpenduduk 240 juta ini juga dipandang memiliki pasar dalam
negeri yang kuat. Selain ikatan dagang yang erat dengan Cina, pasar dalam
negeri ini membantu menangkal dampak krisis ekonomi global 2008.
Banyak bukti mendukung sudut pandang itu. Kota-kota kaya
komoditas sumber daya alam seperti Balikpapan adalah salah satunya. Pusat
perbelanjaan dan hotel berkualitas internasional menjamur di Balikpapan dan
Samarinda. Semuanya adalah jawaban dari dahaga Cina akan komoditas mentah. Di
Jakarta, jalanan penuh dengan mobil-mobil baru yang diborong kelas menengah.
Indeks Harga Saham Gabungan melonjak 30% dalam setahun
terakhir, sementara ekonomi menanjak mendekati batas $1 triliun per tahun
dengan sektor jasa yang besar. Tahun 2011, ekspor komoditas termasuk bahan
makanan menyumbangkan 68% dari total ekspor. Tapi, menurut McKinsey & Co,
sektor itu hanya berkontribusi 19% terhadap total nilai ekonomi.
Luke Rowe, penasihat teknis di Jones Lang LaSalle,
berkata tidak ada tanda-tanda gelembung atau bubble di pasar properti.
Permintaan dari sektor komersial dan perumahan tetap tinggi, walaupun beberapa
proyek terkesan terlalu ambisius, seperti rencana pencakar langit 101 lantai di
Jakarta. Yang paling penting, tak seperti booming properti sebelumnya tahun
1990-an, bank lebih hati-hati memberikan kredit. “Mereka sudah jera,” ujar
Rowe.
Di pertemuan regional di Phnom Penh, Kamboja, Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan beberapa bulan lalu merangkum suasana ini dengan
menggambarkan Indonesia sebagai “indescribably sexy story.”
Tapi, agar kisah seksi itu bisa terus berlanjut, kalangan
pebisnis harus bisa mencari cara tetap tumbuh saat Cina melemah. Menurut
sebagian ekonom, generasi baru pemimpin Cina yang akan mulai berkuasa sebentar
lagi – rapat-rapat soal transisi Cina ini akan dimulai 8 November – tidak
terlalu memperhatikan angka pertumbuhan yang tinggi. Mereka lebih menyoroti
kualitas pertumbuhan Cina.
Ini bisa mendatangkan perubahan struktural di Negara
Tembok Besar itu. Seperti halnya jumlah proyek listrik tenaga air dan gas di
negara itu yang terus meningkat, perubahan tersebut bisa semakin menurunkan
permintaan akan batu bara Indonesia.
Sumber : TWSJ, 06.10.12.
[English Free Translation]
Indonesia is the largest exporter of thermal coal in the
world. This type of coal is low-grade varieties are used as fuel for coal-fired
power plant. However, with the slowdown in China's economic growth, local coal
mine in East Kalimantan and others began to feel the impact.
No comments:
Post a Comment