Oleh Kathy Chu dan I Made Sentana
JAKARTA—Investor asing semakin mencemaskan masalah
sengketa kontrak dan isu nasionalisme di dunia bisnis Indonesia. Hal ini dapat
merintangi arus investasi ke sumber daya alam Indonesia bernilai tinggi,
seperti minyak, gas, dan bahan tambang.
Pengusaha asal Eropa, Nat Rothschild, bulan lalu mundur
dari direksi Bumi PLC setelah Bakrie Group mengajukan tawaran untuk aset
Indonesia milik perusahaan batu bara asal London itu. Churchill Mining PLC,
perusahaan asal Inggris, tengah terlibat dalam sengketa dengan pemerintah
daerah mengenai proyek batu bara di Kalimantan.
Intrepid Mines Ltd. mengklaim mitranya di Indonesia
mengusir perusahaan pertambangan asal Australia itu dari sebuah proyek
eksplorasi emas dan tembaga. Empat karyawan Chevron Corp., perusahaan Amerika
Serikat (AS) yang sudah berkiprah di Indonesia selama hampir 90 tahun, ditahan
oleh Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi remediasi tanah di Sumatra.
“Isu-isu yang menumpuk itu menyiratkan investasi di
Indonesia tidak mudah,” kata Dipnala Tamzil, Direktur Eksekutif Indonesian
Petroleum Association atau IPA. “Arus investasi ke Indonesia memang belum
terhenti, tapi hal ini menunjukkan ada masalah yang harus dipecahkan.”
Tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Investor asing
mencemaskan beberapa isu di sektor pertambangan.
Sengketa bisnis memang bisa terjadi di mana saja. Dan
negara dengan salah satu pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia ini telah
memikat investasi asing dalam jumlah besar.
Tapi rangkaian insiden itu memicu kekhawatiran akan
transparansi dan kestabilan regulasi di Indonesia, kata Andrew White, managing
director Kamar Dagang AS di Indonesia.
“Berapa banyak potensi investasi yang bisa mengalir masuk
jika Indonesia menangani isu-isu penting ini?” tanyanya. “Ada belasan miliar
dolar yang menunggu.”
Jubir Chevron Alex Yelland berkata perusahaannya
“meninjau rencana investasi secara rutin, dan kepercayaan terhadap kerangka
kerja hukum serta regulasi adalah bagian penting” dalam pengambilan keputusan.
Arus investasi asing langsung ke Indonesia naik ke rekor
tertinggi senilai $5,9 miliar di kuartal ketiga 2012, atau meningkat 22% dari
periode yang sama setahun sebelumnya. Ini menandakan Nusantara masih diminati
investor asing yang ingin memikat konsumen kelas menengah, yang jumlahnya terus
tumbuh.
Kebijakan dari pemerintah “sangat mendukung pembentukan
iklim investasi yang terus membaik,” tegas Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
bulan lalu.
Namun, meskipun Indonesia masuk 10 besar dunia dalam hal
potensi barang tambang mineral, kita masuk 10 negara dengan dampak kebijakan
terburuk terhadap eksplorasi pertambangan. Sentimen itu datang dari survei
akhir tahun lalu oleh lembaga penelitian Fraser Institute dari Kanada, yang
menghubungi sekitar 800 perusahaan terkait pertambangan.
Selain itu, Indonesia yang dulu pernah menjadi anggota
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau OPEC ini sudah lama menjadi
importir net minyak. Ladang-ladang minyak kita yang semakin menua memberikan
hasil produksi yang terus menurun.
Seiring dengan pemilu presiden Juli 2014 yang kian
mendekat, saat ini pun pemerintah menerapkan “sikap yang sangat nasionalis”
dalam regulasi pertambangan, kata Adam Worthington, analis dari Macquarie
Securities. Hal ini dapat meredam arus modal asing, lanjutnya.
Di sektor pertambangan, pemerintah telah meluncurkan
peraturan baru mengenai pembatasan kepemilikan asing. Pemerintah juga tengah
merundingkan ulang angka royalti pertambangan dengan investor asing besar.
Beberapa investor melihat langkah pemerintah itu sebagai
aksi nasionalis. “Mungkin pendapat itu ada benarnya,” kata Muhammad Chatib
Basri, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Tapi Indonesia harus melepaskan
diri dari ketergantungan terhadap pertambangan sumber daya alam, lanjutnya,
sehingga pemerintah harus mendorong perusahaan beralih ke produk dan layanan
bernilai lebih tinggi.
Reaksi investor asing bisa terlihat dari kasus Rothschild
dan Bumi. Dalam surat pengunduran diri, pengusaha Inggris itu menulis bahwa
tawaran Bakrie membeli aset-aset Indonesia “jelas tidak membawa kepentingan
pemegang saham minoritas.” Ia juga menyatakan “hampir semua pebisnis Indonesia
terkejut oleh kesan buruk” yang ditangkap investor asing akibat sengketa ini.
Pihak Bakrie menolak berkomentar.
Menurut survei Kamar Dagang Amerika, dari 356 perusahaan
yang dihubungi, hanya seperempat yang berencana berekspansi di Indonesia.
Persentase tahun lalu mencapai 72%, sedangkan pada 2010 mencapai 69%. Survei
itu melibatkan perusahaan anggota kamar dagang di tujuh negara Asia Tenggara,
dan berlangsung 15 Juni hingga 3 Juli lalu.
Alasan di balik kemerosotan itu belum jelas, kata Andrew
White dari Kadin AS. Tapi isu seperti korupsi, infrastruktur, proteksionisme,
dan regulasi masih menjadi perhatian utama perusahaan anggota kamar dagang,
lanjutnya. White menambahkan faktor penting lain adalah kepatuhan terhadap
kontrak.
Sengketa kontrak terjadi antara Intrepid Mines dan PT
Indo Multi Niaga. Intrepid menuduh mitranya di Indonesia itu melanggar kontrak
dengan menjual kepemilikan proyek eksplorasi emas dan tembaga.
“Peristiwa ini, dan kasus-kasus lain di Indonesia
baru-baru ini, menunjukkan bahwa beberapa unsur komunitas bisnis merasa bisa
melanggar hukum tanpa mendapat hukuman,” kata CEO Intrepid Brad Gordon.
Indo Multi Niaga menolak berkomentar.
Mengenai kasus Bumi, Gita Wirjawan berkomentar hal itu
adalah “isu korporat.”
Di kasus lain, Churcill Mining membawa adu klaim proyek
batu bara di Kalimantan ke pengadilan arbitrase International Centre for
Settlement of Investment Disputes di Washington.
Sementara itu, penahanan karyawan Chevron bisa memberikan
“preseden baru” di industri minyak dan gas, kata Dipnala Tamzil dari IPA.
Kontrak pembagian produksi atau production sharing biasanya menyatakan sengketa
harus diselesaikan melalui hukum perdata, bukan pidana.
Penyelidikan itu juga dapat merusak “iklim investasi”
Indonesia dengan menimbulkan ketidakpastian tentang proses penyelesaian
sengketa, kata Hadi Prasetyo, Kepala Hubungan Masyarakat BP Migas.
Kejaksaan Agung menuduh proyek pemulihan tanah atau
remediasi di Sumatra yang dilakukan Chevron merupakan proyek “fiktif.” Menurut
Kejakgung, negara merugi $23,4 juta atau sekitar Rp 225 miliar, karena limbah
terkait pengeboran minyak tidak berhasil terangkat dari tanah. Adi Toegarisman,
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung, berkata kasus ini tak akan membuat
investor asing yang bermain sesuai aturan menjadi cemas.
Alex Yelland dari Chevron berkata proyek itu sudah
mendapat izin pemerintah, dan telah merehabilitasi lahan seluas 75 kali
lapangan sepak bola. Perusahaan asal AS itu juga mewajibkan karyawan menjalani
pedoman perilaku yang “ketat,” ujarnya.
Todung Mulya Lubis, kuasa hukum keempat karyawan Chevron
yang ditahan, berkata proyek itu sudah berlangsung sesuai aturan. Ia telah
mengajukan bukti-buktinya ke Kejakgung.
—Dengan kontribusi dari Eric Bellman dan Joko Hariyanto.
Sumber : WSJ, 01.11.12.
[English Free Translation]
Foreign investors are increasingly worrying about
contract disputes and nationalism issues in the Indonesian. This can hinder the
flow of investment into Indonesia's natural resources of high value, such as
oil, gas, and mining.
No comments:
Post a Comment