VIVAnews - Raut
wajahnya tak terkesan lelah. Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 18.50 WIB. Dengan hangat, satu per satu
orang di ruangan kepala stasiun kereta Gambir,
Jakarta, disalaminya.
"Masih kurang 10 menit, kita bisa santai-santai dulu," kata pria kelahiran Singapura itu. Pada pukul 19.00 WIB, dia dijadwalkan menjalani sesi wawancara dengan sebuah media online dan stasiun televisi swasta.
Dia adalah Ignasius Jonan. Lahir pada 21 Juni 1963, Jonan kini menjabat sebagai direktur utama PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sebagai dirut ke-22 KAI, masa jabatan Jonan terbilang paling lama dibanding pendahulunya. Jika rata-rata dirut KAI menjabat tiga tahun, lulusan Universitas Airlangga itu kini sudah menempati posisi itu empat tahun sepuluh bulan.
Awal Desember lalu, perusahaan yang dipimpinnya kembali berduka. Kecelakaan kereta di perlintasan 57A Bintaro, Tangerang, di antaranya telah merenggut nyawa tiga pegawainya.
Duka itu pula yang dirasakan putrinya. Mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu pun sempat "dilarang" pulang oleh putrinya tersebut.
"Kenapa pulang, di sana masih banyak tugas yang harus diselesaikan," kata Jonan menirukan ucapan putrinya, yang merujuk pada upaya penanganan korban kecelakaan itu.
Namun, di tengah suasana duka, pria yang mulai menjabat dirut KAI sejak 2009 itu, juga mencatat prestasi gemilang. Pendapatan perseroan hingga November tahun ini hampir menyentuh Rp8 triliun. Keuntungan pun terus dibukukan BUMN di sektor transportasi darat itu.
Untuk mengetahui sepak terjang mantan direktur Citi Group itu, VIVAnews dan ANTV mewawancarainya pada Selasa 17 Desember 2013. Berikut petikannya:
Hampir lima tahun Anda membenahi PT Kereta Api Indonesia. Banyak kemajuan yang sudah diraih. Apa resepnya?
Sebenarnya, kalau saya dianggap membenahi itu tidak ya. Jadi, yang membenahi itu hampir 28 ribu rekan-rekan saya, pegawai yang berstatus karyawan tetap, termasuk anak perusahaan. Ditambah 6-7 ribu pegawai tidak tetap dan karyawan kontrak serta outsourcing. Saya ini cuma mandor.
Saya juga tidak menciptakan penemuan baru. Namun, saya selalu menganjurkan kalau soal kepemimpinan itu harus memenuhi sejumlah syarat.
"Masih kurang 10 menit, kita bisa santai-santai dulu," kata pria kelahiran Singapura itu. Pada pukul 19.00 WIB, dia dijadwalkan menjalani sesi wawancara dengan sebuah media online dan stasiun televisi swasta.
Dia adalah Ignasius Jonan. Lahir pada 21 Juni 1963, Jonan kini menjabat sebagai direktur utama PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sebagai dirut ke-22 KAI, masa jabatan Jonan terbilang paling lama dibanding pendahulunya. Jika rata-rata dirut KAI menjabat tiga tahun, lulusan Universitas Airlangga itu kini sudah menempati posisi itu empat tahun sepuluh bulan.
Awal Desember lalu, perusahaan yang dipimpinnya kembali berduka. Kecelakaan kereta di perlintasan 57A Bintaro, Tangerang, di antaranya telah merenggut nyawa tiga pegawainya.
Duka itu pula yang dirasakan putrinya. Mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu pun sempat "dilarang" pulang oleh putrinya tersebut.
"Kenapa pulang, di sana masih banyak tugas yang harus diselesaikan," kata Jonan menirukan ucapan putrinya, yang merujuk pada upaya penanganan korban kecelakaan itu.
Namun, di tengah suasana duka, pria yang mulai menjabat dirut KAI sejak 2009 itu, juga mencatat prestasi gemilang. Pendapatan perseroan hingga November tahun ini hampir menyentuh Rp8 triliun. Keuntungan pun terus dibukukan BUMN di sektor transportasi darat itu.
Untuk mengetahui sepak terjang mantan direktur Citi Group itu, VIVAnews dan ANTV mewawancarainya pada Selasa 17 Desember 2013. Berikut petikannya:
Hampir lima tahun Anda membenahi PT Kereta Api Indonesia. Banyak kemajuan yang sudah diraih. Apa resepnya?
Sebenarnya, kalau saya dianggap membenahi itu tidak ya. Jadi, yang membenahi itu hampir 28 ribu rekan-rekan saya, pegawai yang berstatus karyawan tetap, termasuk anak perusahaan. Ditambah 6-7 ribu pegawai tidak tetap dan karyawan kontrak serta outsourcing. Saya ini cuma mandor.
Saya juga tidak menciptakan penemuan baru. Namun, saya selalu menganjurkan kalau soal kepemimpinan itu harus memenuhi sejumlah syarat.
Pertama, harus
memberikan contoh. Kalau itu saja tidak bisa, saya juga tidak akan memimpin.
Jika dihadapkan pilihan antara orang yang sangat mampu atau bisa memberi
contoh, saya akan memilih yang bisa memberi contoh. Kalau pemimpin, ya, harus
punya itu.
Kedua, passion. Passion ini sulit duplikasinya, karena kemauan dan semangat yang tinggi, tidak kenal lelah untuk memperbaiki. Kalau perlu sabar, sabar. Kalau perlu tidak sabar, tidak sabar. Jadi, passion ini harus terus-menerus dan konsisten.
Yang ketiga itu konsisten. Konsisten ini apa? Kalau rekan-rekan saya, misalnya kahumas bilang, "Pak, kok ini tambah lama tambah ngebut". Saya akan bilang, tahun pertama dan kedua, ibarat mobil pakai gigi satu dan dua. Tahun ketiga, sudah naik ke gigi tiga. Tahun keempat, naik lagi gigi empat, tahun kelima, ya, gigi lima. Tunggu saja. Kalau saya diperpanjang, giginya enam.
Tiga hal ini yang menurut saya harus ada. Leadership ini yang pertama dari example. Kalau yang lain tidak punya, ya sudah ini saja. Yang kedua itu passion-nya harus ada. Passion terhadap apa yang dikerjakan, bukan kayak hangat-hangat tahi ayam. Kalau passion, itu semangat, kemauan untuk sesuatu yang harus dikerjakan. Passion itu untuk pelayanan kereta supaya lebih baik. Yang ketiga itu konsisten.
Semua itu arahnya ke mana?
Semua kegiatan, menurut saya, entah itu di pemerintahan, birokrasi, kepolisian, kejaksaan, atau apa, harus customer oriented. Stakeholder maunya apa, kan harus dikerjakan. Waktu saya masuk ke Kereta Api, kok rasa-rasanya teman-teman berpikir kami tidak ada saingan. Kami maunya begini, kamu enggak mau, ya sudah. Oh tidak bisa, kalau ini terjadi, suatu hari Kereta Api akan habis.
Jadi, menurut Anda, siapa pesaing kereta api?
Saingan kami ini banyak. Kalau kereta commuter, saingannya ada angkot dan metromini. Lebih pendek lagi, ada bajaj atau ojek. Yang jarak menengah, ada bus antar kota. Yang lebih jauh, ya, macam-macam. Ada penerbangan low cost carrier atau pesawat murah. Ini saingan semua. Ini harus dihadapi. Kami harus punya marketing sendiri, semangat sendiri untuk memperbaiki. Masih panjang perbaikannya.
Selama ini, kereta api di Jakarta sering mendapat sorotan. Problem kemacetan ibu kota juga sulit dipecahkan. Apa terobosan yang sudah Anda buat. Terutama, menjadikan kereta yang lebih nyaman dan manusiawi?
Begini, kalau bicara integrasi moda transportasi, kami sangat terbuka. Kerja sama dengan pengelola bus Transjakarta tidak masalah. Pak Wagub DKI (Basuki Tjahaja Purnama) bilang, "Gini deh, setiap stasiun ada jembatan penyeberangan orang yang langsung ke halte". Menurut saya, boleh, silakan dipasang. Saya sangat mendukung. Nanti, kalau MRT jadi, mau sharing stasiun, boleh.
Selain itu, integrasi ticketing. Dari dulu saya sudah bilang, ticketing bisa dipakai KRL dan bus Transjakarta. Untuk MRT, kami akan support. Kenapa? Dua dari jajaran direksi MRT itu yang kasih saya juga. Mantan pegawai Kereta Api. Tapi, pemahaman boleh tidak sama. Pemahaman kami, sebagai operator transportasi publik, kemacetan jangan disalahkan kepada kami. Yang buat macet itu kami atau pihak lain? Transportasi publik di perkotaan itu bagian dari tata kota. Masa kami yang atur, tidak mungkin.
Saran Anda untuk mengurangi kemacetan?
Kalau saya sebagai menteri BUMN, saya akan paksa kantor-kantor BUMN yang tidak relevan untuk keluar dari Jakarta. Tidak perlu di sini. Kantor pusat KAI juga di Bandung. Misalnya, kantor pusat bank, apa perlunya di Jakarta. Mereka kan punya kantor cabang ribuan, dari Sabang sampai Merauke. Di Semarang juga bisa. Kalau bilang persoalan komunikasi, itu dulu. Sekarang zaman canggih. Pakai video conference juga bisa.
Kami tertarik dengan cara Anda menertibkan penumpang di atap KRL. Bisa Anda ceritakan?
Disiplin itu dimulai dari diri sendiri, setelah itu dari lingkungan internal. Kami dari penyelenggara perkeretaapian, ya itu yang didisiplinkan dulu. Kalau kami tidak bisa disiplin, penumpang dan masyarakat juga bisa seenaknya. Misalnya, ada yang bikin warung di stasiun seenaknya. Ada yang naik kereta tidak bayar dan lainnya. Kalau saya naik kereta juga harus bayar. Kecuali pekerja Kereta Api yang bekerja di Jabodetabek. Kalau di kereta commuter, sebagai pelayanan publik, saya buat satu kelas. Dulu ada kelas ekonomi, ekonomi AC, ekspres, dan lainnya. Ya, ini tidak boleh. Transportasi publik itu single class. Akhirnya, KAI buat satu kelas kereta api.
Kereta commuter itu setiap stasiun berhenti. Di seluruh dunia seperti itu. Semua juga pakai AC. Dengan begitu, penumpang di atap akan berkurang. Karena, kereta yang pakai AC itu jendelanya tidak bisa dibuka. Jadi, orang tidak bisa naik dari jendela ke atap gerbong. Ya, kadang AC-nya kurang dingin dan kami akan perbaiki. Pintu juga harus tertutup. Kalau tidak tertutup, kereta tidak boleh jalan. Jadi, tidak ada lagi yang naik ke atap. Apalagi, sekarang pakai electronic ticketing. Kalo tidak beli tiket, tidak boleh masuk.
Untuk kereta antar kota, kami melihat standar kenyamanan mulai berkurang. Apa rencana Anda?
Gerbong-gerbong itu belinya baru. Tapi memang banyak yang sudah tua. Jadi, ini program kami selanjutnya. Sampai tujuh tahun ke depan, kereta jarak jauh, entah itu yang ekonomi, eksekutif, kami berusaha ganti gerbongnya. Gerbong penumpang kereta jarak jauh kami akan berusaha ganti semua. Kami akan beli baru.
Gerbong itu akan dibeli dari PT Inka?
Belum tentu. Nanti kami cari kualitas terbaik dengan harga yang wajar. Inka di Madiun itu memang produksi. Tapi, tidak ada satu pabrik yang bikin dari roda sampai jadi satu gerbong. Kalau Inka misalnya adalah yang terbaik, saya lebih senang. Ini bukan alasan gunakan dalam negeri. Ini agar komunikasi lebih gampang dan menciptakan lapangan kerja di sini. Tapi, kalau kualitasnya beda besar dan harganya beda jauh, ini persoalan sendiri. Penumpang kan tidak mau tahu.
Bagaimana dengan standar kenyamanan ratusan gerbong KRL bekas yang sudah mulai didatangkan dari Jepang?
Sebenarnya,
kalau untuk keselamatan dan keamanan, sebelum dikirim sudah diperbaiki di
Jepang. Mungkin yang jadi tantangan adalah suku cadangnya. Dan ini, saya rasa
sudah oke. Tinggal AC-nya yang harus diperbaiki. Karena, iklim di Jepang
kebanyakan subtropis, sedangkan kita tropis. Kebutuhan untuk pendingin
ruangannya beda. Gerbong di Jepang ada heater-nya. Saat musim
dingin, AC dimatikan dan heater-nya hidup. Nah, di
sini kita tidak pakai heater. Kedua, passion. Passion ini sulit duplikasinya, karena kemauan dan semangat yang tinggi, tidak kenal lelah untuk memperbaiki. Kalau perlu sabar, sabar. Kalau perlu tidak sabar, tidak sabar. Jadi, passion ini harus terus-menerus dan konsisten.
Yang ketiga itu konsisten. Konsisten ini apa? Kalau rekan-rekan saya, misalnya kahumas bilang, "Pak, kok ini tambah lama tambah ngebut". Saya akan bilang, tahun pertama dan kedua, ibarat mobil pakai gigi satu dan dua. Tahun ketiga, sudah naik ke gigi tiga. Tahun keempat, naik lagi gigi empat, tahun kelima, ya, gigi lima. Tunggu saja. Kalau saya diperpanjang, giginya enam.
Tiga hal ini yang menurut saya harus ada. Leadership ini yang pertama dari example. Kalau yang lain tidak punya, ya sudah ini saja. Yang kedua itu passion-nya harus ada. Passion terhadap apa yang dikerjakan, bukan kayak hangat-hangat tahi ayam. Kalau passion, itu semangat, kemauan untuk sesuatu yang harus dikerjakan. Passion itu untuk pelayanan kereta supaya lebih baik. Yang ketiga itu konsisten.
Semua itu arahnya ke mana?
Semua kegiatan, menurut saya, entah itu di pemerintahan, birokrasi, kepolisian, kejaksaan, atau apa, harus customer oriented. Stakeholder maunya apa, kan harus dikerjakan. Waktu saya masuk ke Kereta Api, kok rasa-rasanya teman-teman berpikir kami tidak ada saingan. Kami maunya begini, kamu enggak mau, ya sudah. Oh tidak bisa, kalau ini terjadi, suatu hari Kereta Api akan habis.
Jadi, menurut Anda, siapa pesaing kereta api?
Saingan kami ini banyak. Kalau kereta commuter, saingannya ada angkot dan metromini. Lebih pendek lagi, ada bajaj atau ojek. Yang jarak menengah, ada bus antar kota. Yang lebih jauh, ya, macam-macam. Ada penerbangan low cost carrier atau pesawat murah. Ini saingan semua. Ini harus dihadapi. Kami harus punya marketing sendiri, semangat sendiri untuk memperbaiki. Masih panjang perbaikannya.
Selama ini, kereta api di Jakarta sering mendapat sorotan. Problem kemacetan ibu kota juga sulit dipecahkan. Apa terobosan yang sudah Anda buat. Terutama, menjadikan kereta yang lebih nyaman dan manusiawi?
Begini, kalau bicara integrasi moda transportasi, kami sangat terbuka. Kerja sama dengan pengelola bus Transjakarta tidak masalah. Pak Wagub DKI (Basuki Tjahaja Purnama) bilang, "Gini deh, setiap stasiun ada jembatan penyeberangan orang yang langsung ke halte". Menurut saya, boleh, silakan dipasang. Saya sangat mendukung. Nanti, kalau MRT jadi, mau sharing stasiun, boleh.
Selain itu, integrasi ticketing. Dari dulu saya sudah bilang, ticketing bisa dipakai KRL dan bus Transjakarta. Untuk MRT, kami akan support. Kenapa? Dua dari jajaran direksi MRT itu yang kasih saya juga. Mantan pegawai Kereta Api. Tapi, pemahaman boleh tidak sama. Pemahaman kami, sebagai operator transportasi publik, kemacetan jangan disalahkan kepada kami. Yang buat macet itu kami atau pihak lain? Transportasi publik di perkotaan itu bagian dari tata kota. Masa kami yang atur, tidak mungkin.
Saran Anda untuk mengurangi kemacetan?
Kalau saya sebagai menteri BUMN, saya akan paksa kantor-kantor BUMN yang tidak relevan untuk keluar dari Jakarta. Tidak perlu di sini. Kantor pusat KAI juga di Bandung. Misalnya, kantor pusat bank, apa perlunya di Jakarta. Mereka kan punya kantor cabang ribuan, dari Sabang sampai Merauke. Di Semarang juga bisa. Kalau bilang persoalan komunikasi, itu dulu. Sekarang zaman canggih. Pakai video conference juga bisa.
Kami tertarik dengan cara Anda menertibkan penumpang di atap KRL. Bisa Anda ceritakan?
Disiplin itu dimulai dari diri sendiri, setelah itu dari lingkungan internal. Kami dari penyelenggara perkeretaapian, ya itu yang didisiplinkan dulu. Kalau kami tidak bisa disiplin, penumpang dan masyarakat juga bisa seenaknya. Misalnya, ada yang bikin warung di stasiun seenaknya. Ada yang naik kereta tidak bayar dan lainnya. Kalau saya naik kereta juga harus bayar. Kecuali pekerja Kereta Api yang bekerja di Jabodetabek. Kalau di kereta commuter, sebagai pelayanan publik, saya buat satu kelas. Dulu ada kelas ekonomi, ekonomi AC, ekspres, dan lainnya. Ya, ini tidak boleh. Transportasi publik itu single class. Akhirnya, KAI buat satu kelas kereta api.
Kereta commuter itu setiap stasiun berhenti. Di seluruh dunia seperti itu. Semua juga pakai AC. Dengan begitu, penumpang di atap akan berkurang. Karena, kereta yang pakai AC itu jendelanya tidak bisa dibuka. Jadi, orang tidak bisa naik dari jendela ke atap gerbong. Ya, kadang AC-nya kurang dingin dan kami akan perbaiki. Pintu juga harus tertutup. Kalau tidak tertutup, kereta tidak boleh jalan. Jadi, tidak ada lagi yang naik ke atap. Apalagi, sekarang pakai electronic ticketing. Kalo tidak beli tiket, tidak boleh masuk.
Untuk kereta antar kota, kami melihat standar kenyamanan mulai berkurang. Apa rencana Anda?
Gerbong-gerbong itu belinya baru. Tapi memang banyak yang sudah tua. Jadi, ini program kami selanjutnya. Sampai tujuh tahun ke depan, kereta jarak jauh, entah itu yang ekonomi, eksekutif, kami berusaha ganti gerbongnya. Gerbong penumpang kereta jarak jauh kami akan berusaha ganti semua. Kami akan beli baru.
Gerbong itu akan dibeli dari PT Inka?
Belum tentu. Nanti kami cari kualitas terbaik dengan harga yang wajar. Inka di Madiun itu memang produksi. Tapi, tidak ada satu pabrik yang bikin dari roda sampai jadi satu gerbong. Kalau Inka misalnya adalah yang terbaik, saya lebih senang. Ini bukan alasan gunakan dalam negeri. Ini agar komunikasi lebih gampang dan menciptakan lapangan kerja di sini. Tapi, kalau kualitasnya beda besar dan harganya beda jauh, ini persoalan sendiri. Penumpang kan tidak mau tahu.
Bagaimana dengan standar kenyamanan ratusan gerbong KRL bekas yang sudah mulai didatangkan dari Jepang?
Untuk mendandani satu gerbong, berapa biaya yang harus dikeluarkan?
Satu unit itu butuh Rp200-300 juta. (PT KAI mendatangkan 600 gerbong dari Jepang). Lalu, kenapa dari Jepang, karena lebar relnya sama. Myanmar, Vietnam, Thailand, dan Malaysia juga cocok. Tapi, kan mereka tidak produksi KRL.
Lalu, kenapa beli bekas?
Saya sih semangatnya beli baru, tapi tidak mungkin. Kalau beli baru, mungkin harganya Rp15 miliar untuk satu gerbong. Kalau gerbong eks Jepang ini, termasuk ongkos kirim dan pengapalan sampai bongkar di Tanjung Priok hanya Rp1 miliar.
Berapa lama masa pakai gerbong itu?
Sekitar 15 tahun dan layak pakai. Kalau baru, masa pakai bisa 25-30 tahun.
Bicara kinerja, berapa perolehan pendapatan KAI?
Hingga November, pendapatan kira-kira Rp7,8 triliun. Keuntungan sekitar Rp400 miliar. Tahun lalu Rp425 miliar.
Targetnya hampir sama dengan tahun lalu?
Ini baru 11 bulan. Kalau keuntungan, kami tidak ada target. Yang penting bisa untuk investasi kembali. Zaman dulu, kalau tidak ada untungnya, ya, tidak bisa investasi. Makanya, tadi Anda bilang, gerbongnya sudah tua-tua. Makanya kalau sudah punya uang mulai diganti.
Intinya, safety nomor satu. Ketepatan waktu nomor dua. Pelayanan nomor tiga. Kami bisa sampai di sini. Ada lagi yang keempat sebenarnya. Kenyamanan. Ini yang Anda bilang tadi. Gerbong tuanya diganti. Kami mau masuk ke tahap ini.
Ada rencana go public?
Oh, tidak. Ya, paling kalau butuh investasi pinjam dari bank. Tradisional saja. Saya tidak ingin selamanya di sini. Saya tidak berikan rekomendasi sistem ini (go public).
Apakah karena fungsinya sebagai transportasi publik?
Betul.
Terkait peristiwa kecelakaan di perlintasan Bintaro beberapa waktu lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik?
Di Jabodetabek ada ratusan pintu perlintasan. Sekitar 500 titik. Sejak 2010, kami usulkan 20 perlintasan sebidang yang kritis dan padat sekali untuk dibikin flyover atau underpass. Kebetulan, tanggung jawab pembangunan flyover dan underpass itu ada di pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kalau pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum, kira-kira begitu. Ini bukan domain saya.
Tapi, usulan sudah setiap tahun?
Bukan hanya setiap tahun. Bahkan, sudah keluar Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011. (Perpres ini tentang penugasan kepada PT KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta api bandara udara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek). Ini untuk pengembangan KRL Jabodetabek dan KA bandara. Bagi tugas. Yang bangun flyover siapa, itu sudah diatur.
Selama ini, bagaimana mekanisme penjagaan di pintu perlintasan kereta?
Jadi begini, setiap kereta api yang akan melintasi perlintasan, pasti informasi radio sudah keluar dan pakai genta. Sekarang itu sudah dimodernisasi. Selain itu, pakai sirene. Sirene itu untuk mengingatkan lalu lintas supaya berhenti. Lalu, pakai palang pintu. Kalau dulu, palang pintu itu dioperasikan manusia, tapi sekarang secara elektrik.
Nah, sistem yang tidak berubah itu pakai genta dan lebih ke belakang lagi pakai palang pintu. Kalau di Undang-Undang Lalu Lintas, tanda palang itu mengisyaratkan Anda harus berhenti. Lihat kiri kanan, harus hati-hati. Kadang masih ada pemahaman yang salah. Palang itu sebenarnya untuk melindungi perjalanan kereta api, bukan melindungi perjalanan jalan raya. Menurut UU Lalu Lintas, kalau sirene sudah berbunyi dan palang sudah turun, pengguna jalan harus berhenti. Tapi, itu sering diterabas.
Palang itu gunanya untuk apa sih? Palang itu tidak kuat untuk menahan laju mobil. Kalau palangnya ditabrak, ya, bablas. Kenapa ada palang? Kalau rambu jelas. Itu buat pengguna jalan yang dikategorikan sebagai manusia, karena bisa baca rambunya, bisa dengar sirenenya. Palang ini untuk apa? Palang ini bertujuan untuk melindungi dari binatang. Karena, binatang tidak bisa baca rambu. Dengan sirene juga tidak mengerti. Dengar sih dengar, tapi binatang tidak tahu artinya apa.
Imbauan KAI kepada pengguna jalan agar kecelakaan tidak terjadi lagi?
Dengan segala kerendahan hati, kami selaku operator memetik pelajaran berharga dari musibah itu. Kami akan menutup palang dan memberikan sinyal. Lampu akan menyala merah. Kami akan menutup palang itu, tidak perlu menunggu kereta dekat. Di Jabodetabek, 2-3 menit sebelum kereta lewat, palang ditutup. Kalau perlu 5 menit, ya, 5 menit sebelumnya, untuk menghindari pengguna jalan yang berani menyerobot.
Sekarang, kami memberanikan diri, mengimbau, dan meminta. Tapi, ini kewajiban pemda untuk bangun flyover. Seperti Pak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo) setuju buat underpass. Lebih proaktif lagi, minta setiap pemda yang daerahnya padat untuk buat peringatan. Permohonan harus buat underpass. Itu kewajiban mereka. Kalau tidak mampu, ya, minta pemerintah pusat.
Kami juga minta pihak kepolisian untuk law enforcement. Kalau yang menyerobot itu ditilang. Kan ada peraturannya. Bisa dikenakan denda, kurungan. Kalau misalnya ada yang bilang banyak angkot ngetem, ya tolong ditertibkan.
Bagaimana dengan pengembangan kereta api di luar Jawa, termasuk rencana ke depan perseroan?
Kalau blue print Kementerian Perhubungan, ada pembangunan jalur kereta api di Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan sebagainya. Bahkan, Trans Sumatera ada. Kami sebagai operator itu hanya membangun stasiun, kalau perlu. Dan, mengoperasikan serta menyediakan keretanya. Jalannya tidak kami bangun. Kecuali angkutan khusus. Misalnya, angkutan pertambangan, yang tidak digunakan masyarakat. Jadi harus bangun sendiri. Jalur rel dan sinyal di luar stasiun itu milik negara.
Mimpi Anda yang belum terwujud?
Kereta api itu jadi tulang punggung transportasi di tempat yang penduduknya padat, terutama Jawa. Pulau Jawa ini, di luar Madura, penduduknya sekitar 40-50 juta jiwa. Kalau tidak ada kereta api, tidak mungkin jalan raya itu mampu menahan beban transportasi yang padat. Kami juga sudah banyak membuka jalur yang dulunya mati. Contoh yang paling dekat, Bogor-Sukabumi. Insya Allah, pertengahan atau akhir Januari, diteruskan Sukabumi-Cianjur. Awal Januari juga mau buka Semarang-Purwokerto. Dulu tidak ada, sekarang ada.
Kalau proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya?
Secara transportasi, saya sangat mendukung. Tapi, dari segi kebangsaan, saya tidak mendukung.
Alasannya?
Kalau bangun kereta cepat itu, biaya prasarana dan infrastruktur sangat besar. Harus negara, tidak bisa kami. Apalagi kalau dibangun melayang. Kalau negara mau bantu, Alhamdulillah. Tapi, tidak mungkin hibah. Bentuknya pinjaman. Kalau benar hibah tidak apa-apa. Tapi, kalau tidak hibah, itu beda. Siapa yang harus bayar? APBN. (eh)
Arinto Tri Wibowo,
Nezar Patria, Arie Dwi Budiawati |
Minggu, 22 Desember 2013, 21:14 WIB
As the 22nd president of PT KAI, Ignasius Jonan’s term somewhat later than its predecessor. If the average KAI president served three years, Jonan now occupies that position four years ten months. He considers himself more as a foreman.
No comments:
Post a Comment