KOMPAS.com - China Railway
High-Speed atau Bullet Train (Kereta Peluru) bergerak sangat cepat, 250
kilometer per jam. Kereta yang bentuknya terinspirasi dari pedang China kuno
itu mampu menempuh jarak 1.318 kilometer, Beijing- Shanghai, dalam tempo lima jam.
Padahal, jarak itu sebanding
dengan dua kali jarak tempuh Surabaya-Jakarta. Dengan kereta api kelas
eksekutif yang dikelola PT Kereta Api Indonesia saat ini, Surabaya-Jakarta
ditempuh selama 11-12 jam.
”Selain keretanya cepat,
infrastrukturnya juga sangat mendukung. Rel kereta api dibuat di jalan layang
dan bebas hambatan, tanpa ada pintu-pintu perlintasan,” kata Dicky Setyo
Novantoro, karyawan PT KAI.
Pada 10-14 Maret 2012, PT
KAI mengirim 82 karyawan berprestasi untuk mengikuti studi banding ke Beijing
dan Shanghai, China, bertema ”Melihat China dalam Perspektif Perkeretaapian”.
Para karyawan itu terdiri dari berbagai latar belakang bidang, antara lain
kepala stasiun, pengawas rel, penjaga terowongan, operator, dan perbengkelan.
Selain berwisata, mereka
berkesempatan menjajal kereta listrik cepat CRH380 G11 dari Stasiun Beijing
Utara menuju Stasiun Shanghai Hong Qiao. Harga tiket kereta listrik cepat itu
555-1.750 yuan atau sekitar Rp 777.000-Rp 2.450.000, tergantung kelasnya.
CRH berangkat dari Beijing
pada pukul 08.00 dan sampai di Shanghai pukul 13.00. Perjalanan kereta enam
gerbong dengan dua lokomotif depan dan belakang itu sangat nyaman.
Dari dalam CRH berkonstruksi
material plastik dan fiber karbon tersebut suara bising di luar tidak terdengar.
Begitu juga suara perpaduan antara roda dengan rel hanya lamat-lamat terdengar.
Penumpang juga tidak
berdesak-desakan karena tempat duduk cukup lebar dan tertata rapi. Tiga tempat
duduk di bagian kiri dan dua tempat duduk di bagian kanan.
”Saking nyamannya saya tidak
merasa kalau kereta ini berjalan cepat,” kata Ugeng Yudi Prasetyo sembari
melihat monitor petunjuk kecepatan CRH yang berada di setiap gerbong.
CRH dikelola China South
Locomotive and Rolling Stock Corporation Limited (CSR). Dalam catatan CSR,
CRH380 jenis terbaru itu membukukan kecepatan 486 kilometer per jam saat uji
coba pada 2011. Kereta itu mengungguli kecepatan kereta peluru sebelumnya, CRH2
yang membukukan kecepatan maksimal 280 kilometer per jam.
Namun, lantaran pernah
bertabrakan pada medio 2011 yang menewaskan 39 penumpang dan 200 penumpang
luka-luka, CRH380 tidak boleh dioperasikan dengan kecepatan maksimal 300-350
kilometer per jam. Pemerintah China membatasi kecepatannya harus di bawah 300
kilometer per jam.
Pada hari berikutnya,
rombongan PT KAI menjajal kereta supercepat di Shanghai, Shanghai Maglev Train.
Kereta berteknologi magnet itu berangkat dari Stasiun Long Yang Shanghai menuju
Stasiun Bandara Internasional Pudong dengan harga tiket 50-160 yuan atau Rp
70.000-Rp 224.000 tergantung kelasnya.
Dengan kecepatan 301
kilometer per jam, Maglev Train sampai ke tempat tujuan yang berjarak 31
kilometer dalam tempo 7 menit 20 detik. Dengan bus rute sama, perjalanan
menghabiskan waktu 33 menit, dengan catatan tanpa macet.
Maglev Train bisa melaju
dengan kecepatan maksimum 431 kilometer per jam. Dengan rute Stasiun Long Yang
Shanghai-Stasiun Bandara Internasional Pudong, perjalanan ditempuh dalam tempo
2 menit 58 detik.
Pemerintah China menguji
coba Maglev Train pada 12 November 2003. Saat uji coba tersebut, kecepatan
maksimum mencapai 501 kilometer per jam. Kemudian baru pada 2004, kereta
magnetik tersebut diluncurkan sebagai angkutan publik.
Pada jam biasa, kecepatan
kereta hanya sekitar 350 kilometer per jam. Adapun pada jam sibuk mencapai 430
kilometer per jam. Kecepatannya itu melebihi kereta TGV di Perancis yang
berkecepatan 320 km per jam.
Mimpi Indonesia
Direktur PT KAI Ignasius
Jonan mengatakan, studi banding itu bertujuan menambah perspektif dan wawasan
baru bagi karyawan PT KAI yang berprestasi. Mereka bisa belajar dari China
tentang tata cara pengelolaan, pelayanan, dan etos kerja para pegawai kereta
api di sana.
Melalui kegiatan itu, PT KAI
berharap para karyawan dapat menghadapi perubahan-perubahan perkeretaapian yang
terus berkembang. Mereka juga diharapkan dapat semakin menghidupi lima nilai
utama PT KAI, yaitu integritas, profesional, keselamatan, inovasi, dan
pelayanan prima.
”Setidaknya mereka yang
biasanya melayani penumpang bisa merasakan dilayani dan menjadi penumpang. Saya
berharap apa yang mereka terima dan alami pada saat studi banding itu bisa
ditularkan ke rekan-rekan kerja lain,” katanya.
Terkait dengan rencana penyediaan
kereta supercepat Argo Cahaya sekelas kereta Shinkansen, Jepang, senilai Rp 180
triliun, Ignasius Jonan mengaku masih menunggu realisasi dari Kementerian
Perhubungan.
”Pastinya untuk saat ini
tenaga teknis dan awak PT KAI belum mumpuni untuk mengelola kereta supercepat.
Kalau memang jadi, pemerintah perlu mempersiapkan kemampuan sumber daya manusia
yang mengelola dan menjalankannya,” ujarnya.
Rencananya, Kementerian
Perhubungan akan merealisasikan Argo Cahaya pada 2014, pasca-rampungnya proyek
jalur ganda kereta lintas utara Jawa. Kereta tersebut akan melayani rute
Jakarta-Surabaya sepanjang 685 kilometer dengan waktu tempuh 2 jam 53 menit.
Direktur Operasional PT KAI
Bambang Irawan menambahkan, penyediaan kereta api cepat di Indonesia itu
membutuhkan komitmen yang besar dari setiap pihak terkait. Penyediaan itu tidak
hanya menyangkut soal dana, sumber daya manusia, infrastruktur, fisik kereta,
dan pelayanan, tetapi juga keselamatan jalur kereta cepat.
Ah Ming, pemandu wisata
rombongan PT KAI di Beijing, mengatakan, Pemerintah China benar-benar
mengedepankan keselamatan penumpang, jalur kereta listrik cepat, dan pengendara
lain, bahkan hewan. Salah satunya adalah dengan membangun jalur kereta listrik
cepat di jalan layang bebas hambatan.
Jalur yang terbuka dan
sekitar perbukitan ditutup pagar agar tidak ada hewan atau orang yang
menyeberang. Jalur itu juga tidak terdapat perlintasan-perlintasan berpintu
atau tanpa palang pintu seperti di Indonesia.
”Kalau Indonesia mau
menyediakan kereta api cepat, ya, jangan sungkan meniru China. Utamakan
keselamatan, terutama dengan menyediakan jalur kereta yang aman,” kata Ah Ming
yang pernah beberapa kali mengunjungi Jakarta dan Bandung. (HENDRIYO WIDI)
Sumber : Kompas, 05.05.12.
[English Free Translation]
From 10 to 14 March 2012, PT
KAI sent 82 employees to perform comparative studies to Beijing and Shanghai,
China, entitled "Looking at China in the perspective of the
Railways". The employees were comprised of diverse backgrounds, among
others, the head of the station (kepala stasiun), rail inspectors, guards the tunnel,
operator, and the workshop.
No comments:
Post a Comment