JAKARTA : Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association / IMA) menyatakan dua dari tiga poin utama yang dibahas dalam renegosiasi kontrak tambang sudah menemui titik temu.
Direktur Eksekutif IMA Syahrir AB mengatakan kedua poin tersebut yakni luas wilayah dan penerimaan negara. Sementara itu untuk poin ketiga yakni perpanjangan kontrak, diperkirakan tidak terlalu sulit pembahasannya dan segera akan menemui titik temu.
“Kami akan maju untuk renegosiasi luas wilayah mengacu pada pasal 171 UU Minerba No.4 Tahun 2009. Permasalahan luas wilayah ini sudah solved sekitar satu setengah bulan yang lalu,” ujarnya dalam satu acara diskusi, hari ini.
Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan pasal 171 UU Minerba sebagai regulasi bagi penyesuaian 42 Kontrak Karya (KK) dan 76 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang ada di Indonesia.
Pasal 171 ayat 1 UU Minerba berbunyi pemegang KK dan PKP2B harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak hingga jangka waktu berakhirnya kontrak, untuk mendapat persetujuan pemerintah. Kemudian ayat 2-nya berbunyi, jika ketentuan itu tidak terpenuhi, luas wilayah tambang yang telah diberikan akan disesuaikan dengan UU ini.
Semula dalam pasal 53 UU Minerba disebutkan bahwa Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 hektar. Saat ini, menurut Syahrir, pemerintah sudah melunak dengan menyetujui bahwa luas wilayah diberikan sesuai dengan kelayakan ekonomi proyek tambang tersebut dan tidak terpatok pada 25.000 hektar.
“Misalnya kelayakan ekonominya butuh luas wilayah 70.000 hektar, sedangkan UU menyebut 25.000 hektar, ini yang tidak ketemu. Tapi sekarang masalah ini sudah solved, nanti luas wilayah berdasarkan kelayakan ekonomi,” ujarnya.
Syahrir mengatakan di sinilah peluang pemerintah untuk mengontrol kelayakan ekonomi usaha tambang tersebut berdasarkan rencana jangka panjangnya. Meski demikian, kesepakatan yang dicapai antara pengusaha tambang dan pemerintah itu masih secara informal. Saat ini IMA masih menunggu terbitnya aturan tertulis dari pemerintah.
Sementara itu terkait poin kedua yakni penerimaan negara, pemerintah sudah sepakat untuk memberlakukan prevailing law dan mencabut nailing down. Hal ini berarti pemerintah sepakat untuk memberlakukan aturan yang ada saat ini dan mencabut aturan yang berlaku pada saat suatu kontrak tambang ditandatangani.
IMA menyatakan ketentuan tentang penerimaan negara sesuai pasal 169 huruf c bertentangan dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Menurut Syahrir, saat ini pemegang KK/PKP2B ada yang masih membayar Pajak Badan sebesar 35%, sedangkan dalam UU 36/2008 sebenarnya sudah turun menjadi 28%.
Menurutnya, jika nailing down tetap diberlakukan, maka PP No.45 Tahun 2003 tentang tarif royalti tidak bisa diberlakukan. Sebaliknya jika nailing down tidak diberlakukan dan pemerintah menggunakan prevailing law, penerimaan negara dari Pajak Badan memang pasti akan turun.
“Tapi pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan perundangan baru yang mencegah penurunan penerimaan negara. Saya dapat info bahwa Pak Bambang Brodjo [Kepala BKF] bisa terima kalau diberlakukan prevailing law,” ujarnya.
Saat ini seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia harus membayar 26 jenis pajak plus PNBP. Angka tersebut setara hampir 30% pendapatan kotor perusahaan. Selain pajak, perusaaan tambang juga berkontribusi langsung kepada masyarakat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Sumber : Bisnis Indonesia, 26.12.11.
[English Free Translation]
Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association / IMA) said two of the three main points discussed in the renegotiation of mining contracts already seeing common ground. In this occasion, we'd like to wish you a "Happy New Year 2012".
Direktur Eksekutif IMA Syahrir AB mengatakan kedua poin tersebut yakni luas wilayah dan penerimaan negara. Sementara itu untuk poin ketiga yakni perpanjangan kontrak, diperkirakan tidak terlalu sulit pembahasannya dan segera akan menemui titik temu.
“Kami akan maju untuk renegosiasi luas wilayah mengacu pada pasal 171 UU Minerba No.4 Tahun 2009. Permasalahan luas wilayah ini sudah solved sekitar satu setengah bulan yang lalu,” ujarnya dalam satu acara diskusi, hari ini.
Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan pasal 171 UU Minerba sebagai regulasi bagi penyesuaian 42 Kontrak Karya (KK) dan 76 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang ada di Indonesia.
Pasal 171 ayat 1 UU Minerba berbunyi pemegang KK dan PKP2B harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak hingga jangka waktu berakhirnya kontrak, untuk mendapat persetujuan pemerintah. Kemudian ayat 2-nya berbunyi, jika ketentuan itu tidak terpenuhi, luas wilayah tambang yang telah diberikan akan disesuaikan dengan UU ini.
Semula dalam pasal 53 UU Minerba disebutkan bahwa Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 hektar. Saat ini, menurut Syahrir, pemerintah sudah melunak dengan menyetujui bahwa luas wilayah diberikan sesuai dengan kelayakan ekonomi proyek tambang tersebut dan tidak terpatok pada 25.000 hektar.
“Misalnya kelayakan ekonominya butuh luas wilayah 70.000 hektar, sedangkan UU menyebut 25.000 hektar, ini yang tidak ketemu. Tapi sekarang masalah ini sudah solved, nanti luas wilayah berdasarkan kelayakan ekonomi,” ujarnya.
Syahrir mengatakan di sinilah peluang pemerintah untuk mengontrol kelayakan ekonomi usaha tambang tersebut berdasarkan rencana jangka panjangnya. Meski demikian, kesepakatan yang dicapai antara pengusaha tambang dan pemerintah itu masih secara informal. Saat ini IMA masih menunggu terbitnya aturan tertulis dari pemerintah.
Sementara itu terkait poin kedua yakni penerimaan negara, pemerintah sudah sepakat untuk memberlakukan prevailing law dan mencabut nailing down. Hal ini berarti pemerintah sepakat untuk memberlakukan aturan yang ada saat ini dan mencabut aturan yang berlaku pada saat suatu kontrak tambang ditandatangani.
IMA menyatakan ketentuan tentang penerimaan negara sesuai pasal 169 huruf c bertentangan dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Menurut Syahrir, saat ini pemegang KK/PKP2B ada yang masih membayar Pajak Badan sebesar 35%, sedangkan dalam UU 36/2008 sebenarnya sudah turun menjadi 28%.
Menurutnya, jika nailing down tetap diberlakukan, maka PP No.45 Tahun 2003 tentang tarif royalti tidak bisa diberlakukan. Sebaliknya jika nailing down tidak diberlakukan dan pemerintah menggunakan prevailing law, penerimaan negara dari Pajak Badan memang pasti akan turun.
“Tapi pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan perundangan baru yang mencegah penurunan penerimaan negara. Saya dapat info bahwa Pak Bambang Brodjo [Kepala BKF] bisa terima kalau diberlakukan prevailing law,” ujarnya.
Saat ini seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia harus membayar 26 jenis pajak plus PNBP. Angka tersebut setara hampir 30% pendapatan kotor perusahaan. Selain pajak, perusaaan tambang juga berkontribusi langsung kepada masyarakat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Sumber : Bisnis Indonesia, 26.12.11.
[English Free Translation]
Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association / IMA) said two of the three main points discussed in the renegotiation of mining contracts already seeing common ground. In this occasion, we'd like to wish you a "Happy New Year 2012".
No comments:
Post a Comment