Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Institute
for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemerintah
inkonsisten dalam menjalankan rencana pembatasan produksi batu bara.
Hal itu tercermin dari realisasi produksi batu bara 2019
yang melampaui kuota. Sebagai catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) membatasi kuota produksi batu bara sebesar 400 juta ton.
"Di dalam rancangan undang-undang (RUU) energi
nasional sudah ada rencana untuk membatasi produksi batu bara tak lebih 400
juta ton pada 2019. Tapi kenyataannya, kuota produksi 550 juta ton.
Paling tidak kita bisa melihat dan regulasi itu tidak konsisten," kata
Fabby di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).
Melihat hal itu, Fabby menduga pemerintah tidak mengawasi
aturan produksi tersebut lantaran pemerintah sendiri membutuhkan devisa untuk
menutupi defisit transaksi berjalan (CAD). Hal tersebut dapat dilihat dari
produksi batu bara yang menurut Fabby sangat digenjot dalam tiga tahun
terakhir.
"Bahkan usulan tahun ini saya dengar sebesar 700 juta
ton dari para produsen, jauh lebih tinggi," imbuhnya.
Menurut Fabby, pembatasan produksi batu bara
sendiri dinilai sangat penting dan mendesak untuk dilakukan karena sangat
berdampak pada kondisi alam di Indonesia.
"Kenapa perlu dibatasi? karena dampak pertambangan itu
sangat dahsyat. Anggota PBB banyak yang menunjukkan bagaimana kawasan eks
tambang batu bara itu ditelantarkan. Jadi, punya konsekuensi yang sangat besar.
Ada perubahan (eks lahan tambang) menjadi kolam-kolam raksasa yang telah
mengambil banyak nyawa juga," ungkapnya.
Oleh karenanya, ia berpendapat pemerintah dan DPR harus
sesegera mungkin mendorong Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang saat ini masih dalam tahap
pengkajian di DPR.
"Kita tahu pembahasan revisi Minerba intensif
dilakukan 3 tahun terakhir. Ada rencana UU Minerba disahkan periode DPR yang
lalu (2014-2019), tapi di saat-saat terakhir UU ini tidak jadi disahkan dan
masuk Prolegnas DPR 2019-2024," tuturnya.
Menurutnya, poin-poin yang terdapat di dalam UU tersebut
mempunyai aspek urgensi besar. Bukan hanya dalam konteks pertambangan namun
terhadap kebijakan energi nasional.
"UU energi pada dasarnya mengoptimalkan sumber daya
alam di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, dan buat Indonesia
mandiri secara energi. Batu bara diarahkan jadi memberikan nilai tambah
ekonomi, tidak hanya batu bara tapi bahan tambang lain," ungkapnya.
Dari RUU tersebut, Fabby menjelaskan bahwa terdapat tiga
aspek penting yang harus diperhatikan pemerintah. Pertama, perubahan
pemanfaatan energi yang saat ini beralih ke energi terbarukan. Kedua, tata
kelola seperti pengawasan, pengendalian dan pembinaan mineral dan batubara.
Ketiga adalah hilirisasi, yakni
pemanfaatan batu bara untuk kebutuhan energi domestik.
Fabby mengatakan, saat ini pembahasan terkait hilirisasi
sangat intens dalam dua bulan terakhir disebabkan oleh persoalan CAD akibat
nilai impor BBM yang tinggi.
"Maka ada wacana atau rencana yang disiapkan untuk
memanfaatkan batu bara untuk memproduksi gas sebagai pengganti LPG,"
pungkasnya.
Sementara itu, DPR periode 2014-2019 sebelumnya telah memutuskan
untuk menunda pengesahan RUU tersebut. Selanjutnya, pembahasan RUU Minerba akan
dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024.
Sumber : CNN Indonesia, 20.01.20.
[English Free Translation]
Institute for Essential Services Reform (IESR) Executive
Director Fabby Tumiwa assessed that the government was inconsistent in carrying
out plans to limit coal production. The Ministry of Energy and Mineral
Resources (read : ESDM) limits coal production quotas to 400 million tons. In
fact 550 million tons.
No comments:
Post a Comment