Oleh : Haryo Damardono &
Andreas Maryoto
“Kalau gaji pekerja bagus,
kinerjanya juga bagus”.
-- Ignasius Jonan --
Tiga tahun lalu kereta api
dan stasiun identik dengan kekumuhan dan kesemrawutan. Kini, datanglah ke
stasiun, Anda akan melihat perubahan. Kebersihan, kerja keras, dan disiplin
bisa terlihat di tempat itu. Jutaan penumpang kereta api menjadi saksi.
Di tangan Direktur Utama PT
Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan, perubahan itu dimulai. Ketika
diamanahi memimpin BUMN transportasi ini, ia sempat berujar kepada Sofjan
Djalil, mantan Menteri BUMN, apakah dengan latar belakangnya di bidang
akuntansi ia tepat mengabdi di dunia transportasi?
Namun, begitu dilantik pada
25 Februari 2009, tiga bulan pertama dilalui Jonan dengan mempelajari PT KAI
dan perkeretaapian. Ia memperkenalkan sistem meritokrasi.
”Tak ada lagi urut kacang
atau persaingan antarkelompok untuk meraih posisi,” ujar Jonan. Bekerja
profesional menjadi keseharian pegawai PT KAI.
Kemudian, kompensasi pegawai
dinaikkan secara bertahap. Dalam tiga tahun terakhir, ada beberapa jabatan yang
penghasilannya dinaikkan berlipat. ”Begitu saya tahu gajinya tak wajar, ya,
harus disesuaikan, entah bagaimana caranya. Tidak mungkin pekerja yang melayani
publik mendapat gaji kecil,” ujarnya.
Bagaimana perusahaan yang
merugi Rp 83,4 miliar pada 2008 itu punya dana untuk menaikkan gaji? ”Saya
sampaikan kepada pegawai, ayo kita cari dana bersama-sama,” ujarnya. Walau
komponen gaji pegawai naik, PT KAI tetap mencetak laba bersih Rp 153,8 miliar
pada 2009. Dua tahun terakhir, laba bersih KAI pun lebih dari Rp 200 miliar.
Bagaimana itu mungkin?
”Kalau gaji pekerja bagus, kinerjanya juga bagus,” ujarnya.
Ia menganalogikan dengan
seekor sapi yang melintas di depan orang lapar. ”Mungkin hanya butuh 1 kilogram
daging, tetapi karena tak mungkin memotong secuil daging, ya, dibunuh sapinya.
Sebuah perusahaan juga bisa seperti sapi itu,” kata Jonan.
Tentang pegawai
Begitu memimpin KAI, ia tak
langsung memangkas pegawai. ”Jumlah pegawai itu tak pernah berlebih, mungkin
yang kurang pekerjaannya,” ujarnya. Keadilan coba ditegakkan, semisal gaji
komandan di lapangan harus lebih tinggi daripada komandan di kantor.
”Tak boleh ada toleransi dan
harus konsisten saat kita memutuskan kebijakan di perusahaan layanan umum,”
ujar Jonan.
Tak sekadar bicara, dia pun
memberi contoh. Saat mendapati penumpang tak mampu yang hendak naik kereta
tanpa membeli tiket, dia merogoh kantong. ”Saya bayari sendiri,” ceritanya.
Rasa kasihan adalah urusan
personal, sementara KAI adalah perusahaan negara yang harus dikelola
profesional. ”Kalau ada pegawai lain merasa kasihan, ya, bayari saja dari kantong
mereka sendiri. Ini bukan perusahaan milik mereka, tetapi milik negara. Sistem
harus ditegakkan.”
Cenderung bicara keras dan
apa adanya, itulah Jonan. Masyarakat bisa merasakan saat ia menerapkan sistem
boarding dan kebijakan satu nama-satu tiket. Ia tak goyah ketika ada pihak yang
mengkritik.
Penumpang kereta jarak jauh
dan sedang juga harus duduk. Sementara untuk meminimalkan calo, nama di tiket
harus sesuai dengan kartu identitas. Kebijakan ini bikin heboh. Penumpang
terkaget-kaget.
Banyak penumpang, bahkan
pegawai KAI, dan orang penting yang angkat suara. Meski justru terkesan
menyepelekan penumpang dengan mengatakan, mungkinkah penumpang kereta diatur
seperti itu? Bagaimanapun, hasilnya penumpang nyaman.
Siapa pun yang keberatan
dengan sistem itu boleh melongok Stasiun Pasar Senen yang kini nyaman. Sistem
boarding tak sekadar membuat stasiun lebih bersih, juga mengamankan pendapatan
KAI. Namun, yang terpenting, mampu mengedukasi masyarakat.
Awalnya pegawai KAI
mengeluhkan sulitnya mengajari penumpang antre. Namun, lambat laun, penumpang
sendiri yang mengakui antre membuat mereka lebih nyaman.
Apabila dulu pegawai PT KAI
harus mengancam menurunkan penumpang yang merokok, pasca-diterapkannya larangan
merokok pada Maret 2012, sesama penumpang mengingatkan penumpang lain yang
merokok di atas kereta.
Komisi Nasional Pengendalian
Tembakau pun menghargai komitmen KAI dalam melarang aktivitas merokok di atas
kereta dan lingkungan stasiun.
Inovasi juga diluncurkan PT
KAI awal Agustus silam. Pembelian tiket bisa melalui situs
http://www.kereta-api.co.id. Lewat sistem ini calon penumpang lebih mudah
membeli tiket.
Alhasil, dalam penutupan Pos
Koordinasi Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu tahun 2012, Selasa
(28/8/2012), hanya moda kereta api yang mendapat pujian. Menteri Perhubungan
pun melontarkan niatnya menerapkan sistem boarding di terminal bus dan
pelabuhan.
Tak ragu
Perubahan-perubahan itulah
yang dirasakan penumpang kereta api. Mereka tak lagi berdesak-desakan di
stasiun. Kebersihan di stasiun dan kereta api terjaga. Jadwal keberangkatan dan
kedatangan juga semakin sesuai dengan yang dijanjikan.
Perubahan itu dilakukan
Jonan dengan tegas tanpa pandang bulu. Mengapa berani? ”Ini dari ketiadaan
vested interest pada diri saya. Kalau tidak punya kepentingan tertentu, kita
takkan ragu memutuskan atau berbuat apa pun,” ujar Jonan.
Empat puluh sembilan tahun
lalu, Jonan lahir di Singapura. Ia tumbuh dalam keluarga yang mapan, kemudian
berkarier gemilang pada perusahaan finansial multinasional. Maka, boleh
dikatakan, hari-harinya di PT KAI dijalani sebagai sebuah pengabdian.
Setelah 3,5 tahun memimpin
PT KAI, apakah kini gairahnya tertuju pada perkeretaapian? ”Bagi saya, yang
penting pekerjaan ini bermanfaat buat banyak orang,” ujar Jonan.
Dia yakin kereta api
merupakan bagian dari solusi masalah di Indonesia. Sebagai contoh, mengenai
banyaknya korban dalam arus mudik, Jonan menawarkan solusi untuk Lebaran 2013.
”Apabila pemerintah mau
menyubsidi pengangkutan sepeda motor dengan kereta, KAI akan mengangkut 300.000
motor pulang-pergi. Mengapa kami butuh subsidi? Karena pemudik butuh tarif yang
terjangkau. Tanpa itu, mereka tetap akan menantang bahaya untuk mudik,”
katanya.
Dari kereta api kita bisa
becermin, sesungguhnya Indonesia mampu berubah. Disiplin, kerja keras, dan
kejujuran bisa dibangkitkan kembali melalui contoh langsung.
Sumber : Kompas, 31.08.12.
[English Free Translation]
Three years ago, the train
and the station is identical to the squalor and chaos. Now, come to the
station, you will see a change. Cleanliness, hard work and discipline can be
seen in that place. Millions of rail passengers as a witness.
In the hands of the
President Director of PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignatius Jonan, change
begins. When tasked with leading the state's transportation, he had said to
Sofjan Djalil, former Minister of SOEs (or BUMN), whether with his background
in accounting he was right to serve in the world of transportation?
No comments:
Post a Comment