JAKARTA: Indonesia seperti surga bagi investor pertambangan asing. Kilau emas kuning dan hitam (migas) sangat menarik perhatian para pengusaha tambang luar negeri untuk mengeruknya dari bumi Indonesia.
Asing kuasai batu bara
Di sektor pertambangan batu bara misalnya, sejumlah perusahaan China dan India menguasai tambang kecil, dengan cara investor dari kedua negara itu membiayai perusahaan tambang lokal yang terancam gulung tikar.
Dua negara ini sangat agresif mencari sumber daya batu bara sebagai pengganti minyak di luar negeri, sementara cadangan migas dan tambang di negaranya sengaja disimpan.
Penguasaan migas oleh asing
Data British Petroleum Statistical Review mengungkapkan penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan lokal.
Padahal target pemerintah, pada 2025 porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50%. Saat ini porsi nasional hanya 25%, sementara 75% dikuasai asing.
20% Tambang di Kalteng dikuasai asing
Tak kalah memprihatinkannya, sekitar 20% luas lahan pertambangan di Kalimantan Tengah dikuasai oleh perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan penambang dengan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) itu bisa memiliki banyak konsesi.
Di Kalteng terdapat lebih dari 675 perusahaan pertambangan dengan luas lahan yang digarap sekitar 3,78 juta hektare (ha). Dari jumlah tersebut, sekitar 20 Perusahaan di antaranya merupakan pihak asing dengan luas lahan yang digarap 720.000 ha.
Saat ini, izin eksplorasi pertambangan yang dikeluarkan untuk pihak asing maupun lokal sebanyak 317 perusahaan dan izin eksploitasi sebanyak 142 unit.
Dominasi asing kian mengkhawatirkan.
Dominasi asing di sektor pertambangan itu dinilai kian mengkhawatirkan, bahkan telah mengancam kedaulatan perekonomian Indonesia karena menjadikan pertambangan sebagai komoditas yang tidak memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat. Apalagi, sekitar 80% kuasa pertambangan telah dikuasai asing.
Besarnya dominasi asing disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang terlalu membuka lebar pintu investasi bagi investor asing di sektor strategis.
Berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing di sektor pertambangan sampai kuartal II-2011 mencapai US$1,51 atau 31,5% dari keseluruhan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar US$4,78 miliar.
Belajar dari negara lain
Indonesia bisa belajar dari Norwegia yang mewajibkan transfer teknologi dalam 16 tahun sejak kesepakatan ditandatangani dan jangka waktu kontrak.
Hasilnya, Norwegia menjadi Negara nomor satu dalam eksplorasi mineral dan pengeboran minyak dan gas di laut dalam.
Pertambangan energi RI sudah dikuasai perusahaan asing seperti Shell, Exxon Mobile, Petronas, Petro China, dan perusahaan asing lainnya.
Kasus di Venezuela
Berbeda dengan di Venezuela, di mana kegiatan pertambangan emas di Negara itu resmi penuh menjadi milik negara.
Hal itu sehubungan dengan efektifnya undang-undang tentang nasionalisasi pertambangan emas sejak 19 September 2011.
Bolivia juga sudah melakukannya beberapa tahun lalu dan terbukti tidak membuat negara ini ditinggalkan para investor asing sebagaimana dikhawatirkan sebelumnya.
Untuk kasus terbaru di Venezuela, perusahaan asing yang sudah telanjur berbisnis tambang emas di Venezuela tetap bisa melanjutkan bisnis mereka. Akan tetapi, perusahaan asing itu kini diwajibkan untuk bermitra dengan negara.
Kemitraan dengan pemerintah
Perusahaan asing tetap diperbolehkan menggeluti bisnis pertambangan emas, tetapi hanya lewat kemitraan dengan pemerintah. Dengan UU baru itu, pemerintah menerima royalti dari hasil pertambangan sebesar 13 persen.
Venezuela adalah eksportir minyak terbesar di Amerika Latin. Negara ini juga ada di urutan ke-15 sebagai negara terbesar pemilik cadangan emas, dengan deposit 365,8 ton, berdasarkan data dari World Gold Council.
Renegosiasi kontrak tambang
Pemerintah terus mengupayakan renegosiasi kontrak tambang termasuk kontrak PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah yakin pada dasarnya seluruh perusahaan tambang mau diundang bertemu pemerintah untuk diajak renegosiasi. Pemerintah, lanjutnya, ingin agar renegosiasi juga bisa membuat perusahaan tambang membayar royalti dengan benar. Berdasarkan PP No.13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4%, emas 3,75% dan perak 3,25%.
Tarik ulur renegosiasi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan cadangan mineral Indonesia menempati peringkat ke enam dunia. Sektor pertambangan masih dipercaya sebagai salah satu penarik investasi.
Sejak UU Minerba diratifikasi tahun 2009 lalu, isu sektor pertambangan mencuat dan terekam publik terkait terutama masalah eksploitasi tambang dan investasi.
Belakangan isu pertambangan yang kian santer muncul adalah masalah renegosiasi. Sejatinya, UU Minerba baru ini bertujuan memperbaiki kondisi pertambangan yang selama ini diciptakan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pokok pertambangan.
Berdasarkan kedua undang-undang ini, terdapat perubahan sistem hak pertambangan menjadi sistem perizinan. Lainnya seperti divestasi kepemilikan saham asing maksimal 80% setelah 5 tahun produksi, ketentuan harga tambang oleh pemerintah, pelarangan ekspor bahan tambang dalam bentuk mentah hingga pembaruan atau/bahkan penyelesaian kontrak karya sektor pertambangan.
Pemerintah tampaknya sedang gencar merenegosiasi tambang, khususnya mengkaji kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).
Alasan utama yang sering diusung pemerintah adalah berdasarkan produksi pertambangan selama ini, terdapat ketimpangan antara pendapatan negara dari sisi pajak dan royalti pertambangan dibanding dengan keuntungan perusahaan tambang itu sendiri
Lebih lanjut, pembahasan renegosiasi pertambangan direncanakan mencakup prinsip luas wilayah, jangka kontrak, divestasi, pengelolaan lingkungan, royalti, dan kewajiban menggunakan jasa dalam negeri serta pelarangan ekspor bahan mentah tambang.
Namun dari sekian substansi pembahasan renegosiasi ini, pemerintah cenderung memprioritaskan besaran penerimaan.
Tarik ulur pusat dan daerah
Selain dinamika pertarungan antar perspektif, renegosiasi juga bertambah rumit dengan adanya masalah tarik ulur pemerintahan pusat-daerah terkait pengelolaan pertambangan.
Memang, konsekuensi dari pasal 33 UUD 1945 adalah sector pertambangan dikuasai negara demi kemakmuran rakyat. Masalahnya, masih terjadi tarik menarik kepentingan antar tingkatan negara, dalam hal ini adalah pusat dengan daerah.
Lahirnya UU Minerba 2009 yang cenderung mendukung otonomi daerah menambah pelik dinamikan hubungan kedua tingkatan pemerintahan negara ini.
Dengan UU Minerba 2009, pemerintah daerah merasa memiliki kewenangan lebih untuk mengelola sektor pertambangan. Sebaliknya, pemerintah Pusat juga tetap merasa paling berhak mengatur pertambangan di daerah. Salah satu isu dalam pertarungan antara pusat dengan daerah adalah masalah pembagian pendapatan hasil tambang.
Salah satu contoh tentang kondisi diatas adalah kontrak karya yang dilakukan ESDM dengan PT Jogja Magasa Iron, NNT, dan PT Inalum Medan.
Usaha pemerintah soal renegosiasi
Pemerintah dan usaha pertambangan asing akan melakukan pembicaraan bersama, sehingga penerapan kontrak dalam jangka panjang selalu bisa menguntuntungkan perusahaan juga pihak Indonesia.
Apalagi, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara memuat terkait soal renegosiasi juga.
Pemerintah sendiri menargetkan proses evaluasi hasil renegosiasi kontrak-kontrak kerja sama di sektor energi dan sumber daya mineral itu bisa dilakukan pada Desember tahun ini.
Renegosiasi memang bukanlah bertujuan mewujudkan kedaulatan tambang, tapi setidak-tidaknya, renegosiasi merupakan usaha pemerintah untuk lebih menjaga kekayaan alam Indonesia agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Semoga.(api)
Source : Bisnis Indonesia, 16.11.11.
[English Free Translation]
Energy Review : Awaits the establishment of the sovereignty of the mine.
No comments:
Post a Comment