Bisnis.com, JAKARTA - Permasalahan modal yang terbatas
membuat beragam upaya dilakukan pemerintah untuk mencari sumber pendanaan baru
yang lebih masif. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membentuk lembaga
khusus bernama Indonesia Investment Authority (INA), lembaga baru yang
diharapkan mampu menjadi kendaraan finansial untuk memacu pembangunan.
Pembentukan sovereign wealth fund (SWF) dari
Indonesia ini didasari oleh Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2020 tentang
Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai tindak lanjut dari UU Cipta
Kerja. Indonesia bukanlah negara pertama yang menggunakan SWF sebagai
sarana permodalan. Sudah ada negara lain yang telah memanfaatkan SWF ini.
Tipikal negara yang membuat SWF adalah produsen
besar minyak bumi atau memiliki cadangan devisa yang banyak, sehingga memiliki
ekses pendanaan. Dalam pada itu, alih-alih dananya menganggur
di dalam negeri maka SWF ini dipercaya melipatgandakan uang yang berlebih
tersebut untuk diinvestasikan ke berbagai instrumen.
Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara yang bisa
bergantung pada minyak sejak menjadi net importir pada 2003. Di sisi lain,
cadangan devisa pada Desember 2020 yang mencapai US$135,9 miliar cukup untuk
pembiayaan impor selama 10 bulan. Meski sudah melebihi standar internasional
dalam memenuhi pembiayaan 3 bulan impor tetapi masalah kondisi neraca dagang
yang sering kali mengalami defisit membuat cadangan devisa menjadi rentan.
Selain itu ruang fiskal untuk pemenuhan pembiayaan dalam
menggerakkan pembangunan masih jauh dari cukup. INA dapat menjadi sumber
pendanaan baru yang selama ini sangat bergantung pada APBN dan BUMN. Tendensi
SWF selalu berasal dari negara dengan kelebihan uang pun tidak sepenuhnya tepat.
SWF digunakan pula sebagai solusi baru oleh negara-negara
yang mengalami defisit pembiayaan dan memiliki utang yang besar untuk
mendapatkan sumber permodalan. Model SWF ini berusaha menarik dana ke dalam
negeri dan bisa saja itu berasal dari SWF negara lain yang memiliki ekses
pendanaan.
Seperti diketahui, INA diperuntukkan untuk menarik modal
dari luar guna membiayai proyek di dalam negeri, khususnya proyek-proyek
infrastruktur, seperti jalan tol dan pelabuhan. Lebih-lebih pembangunan dalam
rangka mendorong efisiensi mobilitas, konektivitas dan jaringan guna menguatkan
digitalisasi masih sangat diperlukan, khususnya untuk daerah di luar Jawa.
Apalagi model SWF untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur sudah diterapkan oleh India dan Bangladesh dimana sejauh ini bisa
berjalan cukup baik.
Selain untuk pembiayaan infrastruktur, SWF dapat pula
dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti
dilakukan Norwegia dan Singapura. SWF dari Singapura, yakni Temasek mampu
membantu mengangkat status negara itu yang dulu merupakan salah satu negara
miskin di dunia menjadi negara kaya. Meskipun begitu, terbentuknya INA bukanlah
tanpa kekhawatiran. Apalagi, tanpa pengawasan yang baik lembaga ini rentan
disalahgunakan.
Pemerintah memang sudah merancang pembentukan dewan
pengawas. Namun, bagaimana dewan pengawas dan INA berjalan, tentu masih menjadi
pertanyaan dan bisa saja menimbulkan perdebatan. Skandal 1MDB (One Malaysia
Development Berhad) dapat menjadi lesson learned bagi tiap negara yang ingin
memiliki SWF sendiri. 1MDB juga bukan tanpa pengawasan, bahkan pengawasannya
langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Tun Razak.
Namun, justru dia sendiri yang terlibat dan menjadikan 1MDB
sebagai lembaga pencucian uang. Pertanyaan berikutnya, siapa lagi yang akan
mengawasi dewan pengawas? Ditambah lagi dengan bayang-bayang permasalahan
klasik yang sering terjadi dalam proses investasi. Misalnya seperti sulitnya
pembebasan lahan yang menghambat realisasi investasi dan akhirnya membuat banyak
proyek menjadi mangkrak. Hal ini tentu bisa saja menjadi tolak ukur yang kurang
baik bagi investor yang ingin menanamkan modalnya.
Di sini titik krusialnya, transparansi yang baik akan
membentuk kredibilitas, meningkatkan kepercayaan investor dan publik. Dalam
hal operasional, INA boleh saja independen tetapi harus tetap diawasi dalam
batasan yang proporsional. Penunjukan dewan pengawas pun sebaiknya berasal
dari kalangan profesional yang tidak terlibat politik praktis.
Kejelasan aturan fiskal juga perlu dibuat. Dari mana saja
dana yang akan masuk ke INA, berapa persentase yang harus dimiliki pemerintah
nantinya dalam jangka panjang. Seperti diketahui, Modal awal INA adalah Rp75
triliun. Namun, porsi dan sumbernya masih belum terperinci. Kemudian ke mana
dana kelolaan tersebut akan diinvestasikan pun harus dipetakan secara cermat,
misal ditempatkan di emiten-emiten yang sudah terbukti memiliki reputasi baik
dan informasi itu haruslah transparan. Akan sangat baik jika masyarakat
diberikan informasi yang jelas agar tidak terjadi kesimpangsiuran.
Masih sulit memang untuk mengukur efektivitas dari INA saat
ini. Potensi keuntungan dan risiko sama-sama ada. Penilaiannya baru akan
terlihat setelah diterapkan dalam jangka waktu tertentu. Kesalahan implementasi
SWF negara lain bisa menjadi pembelajaran berharga bagi pengambil kebijakan.
Jangan sampai lembaga baru ini menjadi "bancakan
baru" bagi elite politik. Risiko akan selalu ada, namun yang terpenting
adalah bagaimana meminimalkan risiko tersebut.
Sumber : Bisnis, 26.01.21.
[English Free Translation]
The problem of limited capital has made various attempts by the government to seek new, more massive sources of funding. One of the efforts made is to form a special institution called the Indonesia Investment Authority (INA), a new institution that is expected to be a financial vehicle to spur development.
No comments:
Post a Comment