KOMPASIANA:
Kalau kita perhatikan, liputan utama harian
Kompas dari hari ke hari membahas
hal utama yang sama yaitu masalah yang terkait dengan moralitas, korupsi, keberagaman, penegakan
hukum dan juga kepemimpinan bangsa. Masuk ke bagian lain ke bagian opini, tulisan-tulisan yang ada pun
sama terkait dengan hal-haldi
atas.
Surat
kabar ini tampaknya sangat gelisah melihat kondisi bangsa Indonesia, tampaknya
sebagai pengawal demokrasi, pengawal kebebasan, para elit media tersebut
melihat sesuatu hal yang mencemaskan yang kalau tidak direspon dengan cepat dan
tepat dapat menghambat kebebasan, keadilan dan kesejahteraan bangsa.
Berbagai pandangan di kemukan oleh berbagai kalangan di harian tersebut baik ahli
politik, hukum, ekonomi, sosial, sejahrawan termasuk juga
tokoh-tokoh agama. Mereka semua khawatir dengan cara pemerintah mengelola
negara ini, mereka cemas dan juga gemas dengan cara pemimpin nasional mengatasi masalah. Masalah-masalah yang ada, tidak
diselesaikan, cenderung didiamkam bahkan kalau bisa dihindarkan.
Kasus marahnya Harrison Ford (HF) kepada Menteri Kehutanan, Zulkifli
Hasan adalah sebuah kenyataan yang harus dipahami oleh penggelola
negara ini, bahwa kekhawatiran, kegelisahan dan kegemasan pun akan memuncak
ketika kenyataan ada di depan mata. Sebagai bangsa mungkin kita bisa tersulut
oleh kepongahan HF di dalam
menyatakan pandangannya, namun dibalik kepongahan itu ada sebuah kebenaran yang
terucap, ada sebuah kegelisahan terpendam dan jawaban atas pertanyaan aktor dunia
tersebut mungkin di respon dengan begitu formal,
standar, basa-basi model pejabat pemerintah pada umumnya.
HF, tentu bukan orang Indonesia,yang terkadang rasa tidak enaknya,
ewuh pakewuhnya
begitu besar apalagi menghadapi seorang pejabat. Sebagai aktor kawakan yang
ditugaskan didalam pembuatan
film tentang perlindungan hutan, film dokumentar berjudul “Years of Living Dangerously”
tampaknya ia tidak habis mengerti ketika pertanyaannya tentang mengapa para
perambah hutan di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dibiarkan saja oleh negara merusak hutan.
HF, tampaknya ingin jawaban yang lugas, misalnya “yah akan kami
larang, akan kami tangkap”, bukan jawaban bijaksana yang terlalu luas, mutar-mutar
yang tidak ia pahami. Sebagai orang Amerika, mungkin ia merasa di bodohi atau
ia merasa jawaban sang menteri adalah jawaban basa-basi, karena kenyataannya
jauh dari apa yang ia lihat. Sebagai Menteri, Zulkifli Hasan tampaknya ingin
mendapat pengertian dari pewawancara bahwa banyak sekali faktor yang harus
diperhatikan sebelum menangkap para perambah hutan tersebut.
Inilah khas penyelenggara negara kita, senangnya membiarkan
sesuatu, membiarkan masalah, sama juga ketika kita membiarkan para pedagang
kaki lima mengkooptasi jalan dibanyak tempat di negari ini dan ketika
kenyataannya mereka semakin banyak, semakin membesar besar kita pun bingung
menyelesaikannya. Para perambah hutan pun tampaknya demikian.
Coba, juga kita tengok masalah
penjara di Indonesia, menjadi begitu rumit masalahnya ketika dari dulu segala
kebrengsekan di biarkan ada disana, maka ketika Deny
Indarayana dengan semangat 45 nya mencoba memperbaiki penjara, ia
kebingungan, keteteran mungkin juga stres dengan berbagai masalah yang
dihadapinya, siapa bisa menyangka lapas Narkoba Cipinang, sebagai tempat
menahan orang-orang yang melakukan penyalahgunaan narkoba, bisa menjadi tempat
membuat narkoba? Juga tempat bercinta?. Nyatanya
tidak ada yang tidak bisa dilakukan para napi, selama mereka mau mengeluarkan
uang.
Ada banyak hal yang mencemaskan di negeri ini, namun para
pengelola negara meresponnya sebagai hal yang biasa, seolah bangsa ini berjalan
hanya sampai batas usia mereka, seolah tidak ada generasi penerus yang tidak
akan menerima hal negetif perilaku mereka.
Mereka tidak ada yang gelisah dan ketika gelisahan itu terlihat di
luar, di luar struktur-struktur kekuasaan negara, mereka tidak menggangapnya.
Nyatanya gelisahan itu bukan hanya milik kita orang Indonesia, seorang sekelas
HF bisa melihat hal tersebut dan ia marah. Dapat dibayangkan bagaimana
emosionalnya HF seandainya ia diberikan kesempatan untuk
menyelami berbagai kehidupan bangsa yang
lainnya, misal kehidupan
birokrasi negara, kehidupan penegakan hukum, kehidupan keberagaman di negara
ini. Ia mungkin akan sesak, mungkin juga stress, bagusnya ia bukan orang
Indonesia, yang terbiasa melihat ketidakberesan berlangsung dinegara ini.
Menyelesaikan Masalah
Di Harian Kompas, Jumat tanggal 13 September, di halaman 4 ada
berita tentang diskusi yang bertajuk “Pemimpin
Yang Menyelesaikan Masalah” dari tajuk diskusinya jelas bahwa fungsi
pemimpin adalah menyelesaikan masalah. Nyatanya begitu banyak masalah yang
dibiarkan berkembang biak di Negara ini.
Seharusnya yang kesal, emosi dan marah dengan kondisi TN Tesso Nilo yah presiden, bukan
seorang Harrison Ford, presiden sebagai orang yang mengangkat menteri berhak
tahu kondisi TMTN, bukankah ia mempunyai kaki tangan yang begitu banyak, apakah
namanya penasehat, staf ahli dan lain-lain, kalau ia mengetahui seharusnya ia menegur
sang menteri kalau perlu dengan sikap yang emosional sekalipun, bukannya
emosional yang berlebihan ketika orang atau anak-anak tidak menyimak, tertidur
ketika ia berpidato dengan gayanya yang formal.
Tampaknya ia perlu bertanya kepada Menhut, apakah ia pernah pergi
ke Taman Nasional Tesso Nilo, kalau
belum, suruh ia kesana, kerja dari sana. Menjadi pemimpin tidak boleh pemarah, tetapi
ia pantas marah ketika melihat sesuatu yang tidak beres, ia harus kesal ketika
melihat sesuatu yang buruk, maka adalah sangat bagus seandainya SBY mau
menampakan kekesalan, kemarahan dengan perilaku korup para perwira polisi di
negeri ini. Ia harus berani menegur dan mengingatkan. Ia harus berani
menampakan ketidaksukaan atas perilaku tersebut sehingga orang tidak akan
bermain-main dengan jabatannya.
Bila di Negara ini segala sesuatu di biarkan, diendapkan dengan
berbagai pertimbangan yang terkesan bijaksana, maka kita hanya akan menunggu
waktu ke depan bahwa hal ini akan menjadi ledakan yang tidak dapat diduga, maka
seorang pemimpin tugasnya adalah menyelesaikan masalah dengan segala resiko
apapun.
Dalam contoh kasus kepemimpinan yang menyelesaikan masalah kita
bisa lihat pada beberapa tokoh, kita bisa belajar dari CEO KAI, Bapak Ignasius Jonan, walaupun kepemimpinannya belum
membuat pelayanan kereta api di Indonesia bagus seratus persen, setidaknya
masyarakat bisa melihat bahwa sebagai pemimpin ia berusaha menyelesaikan
masalah yang ada, salah satu masalah yang besar adalah para pedagang kaki lima
di peron-peron kereta api di seluruh Jabodetabek, kalau seandainya ia
berlindung dengan berbagai alasan bijak misalnya; rasa kemanusian, pelangaran
HAM, perlawanan dari dalam dan luar, pekerjaan, kehilangan pendapatan dll maka
sudah barang tentu PKL yang ada di peron-peron kereta api yang menggangu
penumpang tidak jadi dibersihkan dan tidak ada perubahan.
Sekarang peron-peron kereta api di wilayah Jabodetabek lebih
nyaman, bisa kita bayangkan kalau seandainya Ignasius Jonan, berlindung dibalik
alasan-alasan bijaksana seperti Menhut, pasti tidak
ada keberanian untuk melakukan tindakan, tidak ada keberanian untuk
menyelesaikan masalah, sebagai pemimpin KAI, tentu keputusan Ignasius Jonan di
latar belakangi kepentingan yang lebih luas yang jauh kedepan ia tampaknya
paham bahwa tindakanya lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.
Masyarakat pun tahu bahwa tindakan membersihkan PKL dari
peron-peron di Jabodetabek adalah hal yang tepat, maka tidak ada resistensi
masyarakat, selain hanya para pedagang dan segelintir mahasiswa di stasiun UI, barangkali
sebenarnya para mahasiswa itu pun tahu bahwa apa yang dilakukan KAI itu benar, apa
yang mereka lakukan mungkin sekedar menunjukan eksistensi mereka.
Untuk contoh kasus yang lain adalah kegigihan Jokowi untuk membenahi Tanah Abang, membenahi para pedagang kaki
lima yang mengkooptasi jalanan untuk berdagang, tanpa perlu kita ulangi apa
yang dilakukan,kita bisa mengatakan bahwa Jokowi dan Ignasius Jonan telah
berhasil menjalankan fungsi sebagai pemimpin yang menyelesaikan masalah.
Demikian juga dengan Jusuf Kalla
(JK), kepemimpinan mampu menyelesaikan masalah, kita tahu bagaimana sepak
terjangnya menyelesaikan masalah Aceh, konversi minyak tanah ke gas dan
sebagainya, ia cepat bertindak, maka sloganya lebih cepat lebih baik, sangat populer
sampai saat ini.
Saat ini, masyarakat khususnya di kota-kota semakin pandai melihat
pemimpinnya, mereka membutuhkan pemimpin yang bergerak, tidak peduli tampangnya
pas-pasan, badannya kecil, gelarnya sedikit, macam JK, Jokowi dan Jonan, mereka
kecil-kecil tapi nyalinya besar, lebih besar dari seorang jenderal gagah
sekalipun. Ketertarikan kita bukan karena gaya bicaranya top markotop dan
sistematis, tapi karena mereka mampu melakukan perubahan, bukankah pemimpin
sejati di nilai dari perubahan yang
dilakukannya.
Persis seperti kata John C.
Maxwell dalam bukunya yang berjudul
“Developing The Leader Within You Workbook” bahwa tes akhir dari
kepemimpinan seseorang adalah menciptakan perubahan yang positif”. Untuk
menciptakan perubahan seorang pemimpin harus bergerak, harus bertindak dan
menyelesaikan masalah yang dihadapinya bukan mendiamkan.
Sumber : Kompasiana, 16.09.13. Penulis : Zaldy.
[English Free Translation]
An article that highlights the meaning of leadership. Anyone who
is elected to a real example, reflect that in this country there is still a hope
for the growth and development of a country called INDONESIA. Nothing is
impossible.