TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Energi Nasional (DEN) meminta
pemerintah mengurangi ekspor gas dan batu bara agar bisa dimanfaatkan seoptimal
mungkin untuk kebutuhan dalam negeri. Anggota Dewan Energi, Herman Darnel
Ibrahim, mengakatan pemerintah harus melakukan reorientasi atas peran gas dan
batu bara sebaga penghasil devisa negara menjadi modal pembangunan nasional. "Tapi
pengurangan ekspor dilakukan bertahap agar tidak terkena tuntutan dari negara
tujuan," kata Herman dalam Dialog Energi di Balai Kartini, Kamis, 11 Juli
2013.
Ia beralasan, kebijakan ekspor gas dan batu bara yang masih gencar dapat mengancam ketahanan energi nasional. Nantinya, sebagai modal ekonomi, gas dan batu bara dapat menjamin ketahanan energi domestik.
Senada, Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Qoyum Tjandranegara mengatakan kebijakan ekpor gas tidak menguntungkan negara. Ia mencontohkan, dengan ekspor gas seharga Rp 4.500 per liter setara minyak, negara kembali membeli BBM (impor) seharga Rp 9.000 per liter. "Justru malah kehilangan devisa Rp 9.500 per liter," ujar Qoyum.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pengatur Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Widjonarko sepakat dengan usulan tersebut. Sayangnya, pengolahan dalam negeri belum didukung oleh infrastruktur dan data yang memadai, serta harga gas. Ia mencontohkan, ketersediaan gas sebesar 50 triliun kaki kubik di Jawa Timur tidak bisa diserap. "Itu karena keterbatasan infrastruktur," ujarnya.
Seuai Rencana Komisi Ekonomi Nasional, target bauran energi nasional pada 2025, yakni 25 persen minyak, 30 persen batu bara, dan 22 persen gas. Sementara energi baru terbarukan mendapat porsi sebesar 23 persen.
Ia beralasan, kebijakan ekspor gas dan batu bara yang masih gencar dapat mengancam ketahanan energi nasional. Nantinya, sebagai modal ekonomi, gas dan batu bara dapat menjamin ketahanan energi domestik.
Senada, Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Qoyum Tjandranegara mengatakan kebijakan ekpor gas tidak menguntungkan negara. Ia mencontohkan, dengan ekspor gas seharga Rp 4.500 per liter setara minyak, negara kembali membeli BBM (impor) seharga Rp 9.000 per liter. "Justru malah kehilangan devisa Rp 9.500 per liter," ujar Qoyum.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pengatur Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Widjonarko sepakat dengan usulan tersebut. Sayangnya, pengolahan dalam negeri belum didukung oleh infrastruktur dan data yang memadai, serta harga gas. Ia mencontohkan, ketersediaan gas sebesar 50 triliun kaki kubik di Jawa Timur tidak bisa diserap. "Itu karena keterbatasan infrastruktur," ujarnya.
Seuai Rencana Komisi Ekonomi Nasional, target bauran energi nasional pada 2025, yakni 25 persen minyak, 30 persen batu bara, dan 22 persen gas. Sementara energi baru terbarukan mendapat porsi sebesar 23 persen.
Adapun mulai 2030,
minyak hanya 22 persen, batubara 30 persen, gas 23 persen, dan energi baru
terbarukan 25 persen.
Sumber : Tempo,
11.07.13.
[English Free
Translation]
National Energy
Council or Dewan Energi Nasional (DEN) asked the government to reduce the
export of gas and coal in order to be optimally utilized for domestic needs.
Member of DEN, Herman Darnel Ibrahim, said the government must reorient the
role of gas and coal producer as a source of foreign exchange capital to be
national development interest.
No comments:
Post a Comment