SRIPOKU.COM
- Survei
terbaru Transparency
International Indonesia (TII) menunjukkan, empat dari 10 masyarakat di
Indonesia membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik.
Temuan
TII juga menyebutkan, 36 persen responden di Indonesia membayar suap untuk
mengakses delapan jenis layanan publik dasar seperti pajak, catatan sipil,
perizinan, polisi, peradilan, atau layanan pertanahan.
Menurut
survei ini, praktik suap paling banyak dilakukan sebagai pelicin urusan atau
memercepat layanan, yakni sekitar 71 persen.
"Responden
yang membayarkan suap untuk layanan publik, paling banyak di polisi, peradilan,
layanan catatan sipil, dan perizinan," kata pengurus TII Wahyudi Thohary,
dalam jumpa pers, Selasa (9/7/2013) sore di Jakarta, seperti dilaporkan
wartawan BBC Indonesia Heyder Affan.
Hasil penelitian terbaru yang melibatkan 1.000 orang responden, digelar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, sejak September 2012 dan berakhir empat bulan lalu.
Sebagian
responden juga menilai, faktor kedekatan (personal contact) sangat penting
untuk mengakses pelayanan publik.
"74
persen responden menyatakan, kolusi penting untuk mendapatkan fasilitas
publik," ujar Wahyudi, membacakan hasil survei.
Praktik
korupsi di Indonesia, menurut kesimpulan survei ini, juga tidak terlepas dari
pengaruh 'pebisnis besar' terhadap pemerintah, walaupun menurut TII,
negara-negara lain di Asia Tenggara dianggap lebih parah.
Dalam
temuan lainnya, TII juga menyebutkan partai politik, polisi, pejabat publik,
parlemen, dan peradilan, merupakan lembaga yang dinilai paling korup.
Tidak
Mau Melapor
Sekalipun demikian, menurut survei TII, mayoritas responden menyatakan optimistis dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.
Sekalipun demikian, menurut survei TII, mayoritas responden menyatakan optimistis dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.
"80
persen warga bersedia bertindak konkret, baik dalam bentuk memberi tekanan
(petisi atau protes), bergabung dalam organisasi antikorupsi, menolak suap,
membangun wacana melalui media sosial, maupun melaporkan kejadian korupsi di
sekitarnya," papar TII.
Sayangnya,
menurut hasil survei, di Indonesia belum cukup tersedia perlindungan dan
saluran yang efektif bagi warga untuk melakukan pengaduan dan pelaporan
korupsi.
"Masyarakat
di Indonesia masih enggan melaporkan kejadian korupsi dibandingkan
negara-negara lain di Asia Tenggara," ungkap Wahyudi.
"Mayoritas
saksi tindak pidana korupsi takut melapor tindak korupsi karena khawatir dengan
konsekuensinya," tambahnya.
Di
negara-negara Asia Tenggara lain, lembaga antikorupsi paling diminati untuk
melaporkan tindak korupsi. Sementara, di Indonesia, warga cenderung melapor
langsung ke lembaga publik.
Dalam
rekomendasinya, TII meminta pemerintah dan masyarakat memerkuat lembaga-lembaga
antikorupsi, memonitor efektivitas reformasi pelayanan publik, dan melibatkan
warga dalam upaya-upaya melawan korupsi.
Sumber : Sriwijaya Post, 11.07.13.
[English Free Translation]
The latest survey of Transparency International
Indonesia (TII) shows, four of the 10 people in Indonesia to pay bribes to obtain
public services.
No comments:
Post a Comment