JAKARTA: Seruan antimafia menggema di sudut Jln. HM Yamin dan
Jln. Timor, Medan, Rabu pekan lalu. Puluhan pegawai PT KAI Divre I Sumut
berunjuk rasa di lokasi yang tepat berada di belakang kantor me-reka. Ada yang
membawa megafon, sisanya mengusung berbagai poster mengutuk eksekusi yang akan
dilakukan Pengadilan Negeri Medan di atas lahan yang bersebelahan dengan kantor
mereka itu.
"Tangkap
mafia tanah yang merebut tanah negara," mereka berseru, berulang-ulang.
Seratus meter di ujung jalan berkumpul puluhan pria berpakaian preman. Satu
peleton polisi menghalangi kedua kelompok itu bentrok, dengan menjauhkan posisi
kedua kubu. Namun rombongan juru sita pengadilan tak berhasil masuk ke lahan
yang akan dieksekusi. Mereka akhirnya membacakan putusan eksekusi dari jauh.
"Tanah ini milik PT Arga Citra Kharisma," kata Abdul Rahman, sang
jurusita. Eksekusi itu kemudian dianggap tak sah, dan akan diulang menunggu
waktu yang tepat.
Cerita
perebutan lahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi, hingga kini, PT KAI
mengklaim masih pemilik sah lahan itu. Luas tanah tersebut sekitar 7 ha, diapit
Jln. Veteran, Jln. Timor, dan Jln. Madura, Kel. Gang Buntu, Medan Timur. Seraya
sengketa berjalan, di atas lahan itu sudah berdiri Medan Center Point, kompleks
mal termegah di Medan. Ada juga Hotel Karibia bintang lima &Teguh Murni
Memoriam Hospital yang tegak perkasa. Hingga kini pembangunan mal &
apartemen bintang lima sedang berjalan di area yang berada di pusat kota itu.
Suara bising mesin pemotong besi seakan-akan berlomba dengan pembenaman tiang
pancang. Ratusan pekerja berhibuk setiap hari di area yang dipagari seng.
"Seharusnya pembangunan itu tak ada karena tak ada ijinnya,” ujar Dirut
KAI.
Direktur
Aset Non-Produksi PT KAI Edi Sukmoro menuturkan, pada awal kemerdekaan, tanah
itu diserahkan perusahaan KA Hindia Belanda, Deli Spoorweg Maatschappij, kepada
pemerintah Indonesia. Lahan itu dulu diproyeksikan memperluas stasiun kereta
api, sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan teknologi. Kini stasiun kereta api
Medan memang membutuhkan kawasan yang lebih luas karena peningkatan jalur
kereta, khususnya menuju Bandar Udara Kuala Namu. Jarak lahan yang
disengketakan dari stasiun hanya sekitar seratus meter.
Dalam
perjalanannya, tanah itu dibagi atas area A, B, C, dan D-sesuai dengan luas dan
fungsinya. Di atas area A, C, dan D, sejak puluhan tahun lalu sudah dibangun
perumahan bagi karyawan PT KAI dan berbagai fasilitas umum. Area B
terbengkalai, dihuni gubuk-gubuk liar. Pada 1980-an, PT KAI berinisiatif
memberdayakan area B dengan melibatkan Pemerintah Kota Medan dan swasta.
"Ketika itu, kami tak sanggup mengelola sendiri," kata Edi Sukmoro.
Di sinilah mulai timbul masalah.
Pada 1982,
Pemerintah Kota Medan menggandeng PT Inanta. Tujuan pemanfaatan tanah tak
jelas, nilai uang kerja sama juga tak pernah terungkap. Pada awal 1990-an,
lahan itu berpindah tangan ke PT Bona Uli-juga dengan cara tak jelas.
Perusahaan Jawatan Kereta Api-nama PT KAI kala itu-tak dilibatkan. Tiba-tiba,
pada 1994, lahan itu sudah dikuasai PT Arga Citra Kharisma. "Ada mafia
tanah yang bermain di lahan itu," ujar sumber Tempo yang tak mau diungkap
identitasnya.
Lalu
muncullah nama Ishak Charlie dan Asiang. Ishak dikabarkan pemilik PT Arga Citra
Kharisma. Anaknya, Handoko, menjabat direktur utama perusahaan itu. Sejak lahan
di Gang Buntu itu diambil PT Arga, aroma suap dan mengakali proses hukum
semakin sengit. Ishak, kata sumber Tempo, menjadi otak peralihan tanah itu. Ia
bekerja sama dengan Asiang, yang masih terhitung keponakannya. Pada setiap
sengketa tanah di Medan, nama Ishak dan Asiang kerap disebut. Mereka juga
selalu menang di pengadilan. Keduanya bahu-membahu menggarap berbagai proyek
lahan yang kemudian dikembangkan menjadi rumah toko dan perumahan. Seperti
hantu, mereka tak pernah terlihat nyata di tiap urusan tanah.
"Mereka
ini mafia yang menggunakan tangan orang lain untuk merebut tanah orang,"
ucap Edi Ikhsan, Koordinator Pusaka, lembaga swadaya masyarakat yang berbasis
di Medan. Edi Ikhsan menuliskan sepak terjang para mafia tanah di Sumatera
Utara di dalam tesisnya. Teman-teman Ishak dan Asiang, kata Edi Ikhsan, ada di
mana-mana. Mereka dikenal sering memberi sangu kepada para pejabat lokal dan
pusat. "Semua kena siram sama dia," ujarnya. Ia menceritakan, Ishak
dan Asiang punya kemampuan mempersempit Sungai Deli, memindahkan sekolah,
masjid, hingga merobohkan situs bersejarah. "Tak pernah ada yang berani
memperkarakan mereka."
Sumber Tempo
yang mengetahui peralihan tanah PT KAI menceritakan, langkah pertama kedua
makelar tanah itu adalah menggandeng Pemerintah Kota Medan untuk mendapatkan
surat kerja sama. Nilai kerja sama ini Rp 3 M dan berlaku selama 20 thn.
"Uang setorannya lebih gede, belasan miliar," katanya. Pada saat ini.
Wali Kota Medan nonaktif, Rahudman Harahap, sudah diperiksa Kejaksaan Agung
karena dugaan kejahatan di balik surat kerja sama itu.
Dengan surat
itu, PT Arga mulai membangun di area B. Mereka melirik area A, C, dan D. Ketika
itu, ketiga area masih dihuni para pensiunan PT KAI. Mereka mengajukan surat
kerja sama baru, dengan syarat PT Arga wajib membangun perumahan pengganti dan
membayar sewa tanah. Selama proses ini, ujar Edi, seharusnya perjanjian itu tak
boleh ada. "Tidak tertutup kemungkinan ada orang PT KAI yang nakal,"
katanya.
PT Arga
kemudian menggugat PT KAI, Pemerintah Kota Medan, dan Badan Pertanahan
Nasional. Ketiga lembaga negara itu dianggap tak kunjung menyerahkan tanah
tersebut kepada PT Arga. Perusahaan ini menang hingga tingkat kasasi. PT Arga
merasa berhak atas tanah itu karena sudah membangun perumahan pengganti di
daerah lain dan membayar uang pengganti.
"Jumlah
uang penggantinya Rp 13 M," ujar Hakim Tua Harahap, pengacara PT Arga.
Menurut Edi Sukmoro, secara logika PT KAI tak mungkin kalah karena memiliki
surat yang sah sejak zaman Hindia Belanda. PT Arga tak pernah membangun rumah
pegawai yang dijanjikan. Uang ganti rugi dinilai sudah tak sebanding dengan
harga tanah, yang kini diperkirakan mencapai Rp 3 T. Uang Rp 13 M itu kini
masih mengendap di Pengadilan Negeri Medan. "Kami seharusnya mendapat
lebih besar dari jumlah itu," katanya.
Ishak dan Asiang memang tak pernah kalah. Kesultanan Deli, PT Perkebunan Nusantara II, serta instansi lain sering berhadapan dengan mereka dan selalu keok. Sumber Tempo lain mengatakan jaringan keduanya terbentang dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Karena itu, strategi Ishak dan Asiang merebut tanah milik pihak lain selalu memanfaatkan pengadilan. Pengusaha asal Medan yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah, Yopie S. Batubara, mengatakan paham betul sepak terjang Ishak. Keduanya pernah berhadapan di pengadilan dalam kasus perebutan lahan Hotel JW Marriott. Yopie kalah. "Ada dua sertifikat yang muncul di pengadilan. Salah satunya dimiliki Ishak," ucapnya.
Asiang dulu dikenal sebagai juragan judi di Medan.
Dalam menjalankan bisnisnya, ia sering menjual nama taipan Tomy Winata. Begitu
pula untuk menguasai lahan PT KAI di Medan. "Banyak pengusaha dan pejabat
yang jiper karena dia selalu membawa-bawa nama TW," kata sumber Tempo.
Tomy mengaku kenal Asiang, tapi tak pernah mencampuri bisnisnya. Dalam kasus
alih kepemilikan lahan PT KAI ini, "Saya tidak memiliki kepentingan di
dalam kasus tanah kereta api," ujarnya lewat pesan pendek. Asiang, hingga
akhir pekan lalu, tak jelas keberadaannya. Sedangkan Ishak Charlie enggan
meladeni wawancara. "Saya memang pemilik PT Arga Citra Kharisma,"
katanya lewat telepon. Ia tak mau mengomentari sebutan mafia tanah kepadanya dan
Asiang.
Edi Sukmoro mengatakan seharusnya PT Arga tak boleh
membangun di area A, C, dan D. Selama dalam sengketa, tak mungkin perusahaan
itu memiliki izin mendirikan bangunan. Asisten Administrasi dan Umum Pemerintah
Kota Medan Ikhwan Habibi Daulay mengatakan PT Arga memang tak memiliki 1MB di
atas area A, C, dan D. Pihaknya mengaku sudah melarang PT Arga melanjutkan
pembangunan. "Lokasinya juga kami jaga dengan menempatkan Satpol PP,"
ujarnya.
Tapi, dari pantauan Tempo selama ini, tak pernah ada
petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang menjaga area itu. Yang berjaga di sana
selalu petugas pengamanan internal perusahaan. Edi Sukmoro mengatakan pihaknya
kini tak punya teman untuk melawan PT Arga. Langkah terakhir mereka adalah
mengumpulkan bukti baru ke memori peninjauan kembali yang akan mereka ajukan ke
Mahkamah Agung. Satu langkah lagi, kata dia, aset negara itu akan jatuh ke
tangan swasta untuk selamanya. "Kami mencoba mengumpulkan sisa semangat
yang ada."
Sumber : Tempo, edisi 8-14 Juli 2013.
[English Free Translation]
Anti-mafia campaign echoed in the corner of
Jln. HM Yamin and Jln. Timor, Medan, last Wednesday. Dozens of employees of PT
KAI - Division I North Sumatra rallied in the right location behind their
office. Nothing brings a megaphone, the remaining carrying posters condemning
the executions to be carried out in the Medan District Court on the land
adjacent to their office.
No comments:
Post a Comment