Jakarta - Pemerintah Jepang memiliki kebijakan
yang efektif untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi beralih ke
transportasi massal. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Indonesia
patut mencontoh Negeri Matahari Terbit tersebut.
Atase Perhubungan Indonesia di Tokyo Jepang Popik Montanasyah mengatakan, pemerintah Jepang secara prinsip tidak membatasi atau melarang secara langsung kepada masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor berapapun jumlahnya.
"Pembatasan jumlah kepemilikan kendaraan di Jepang dimulai dari sisi eksternal pendukung yaitu tempat parkir yang sangat terbatas, pengenaan biaya parkir, biaya tol dan harga BBM yang tinggi serta hukuman dan denda yang memberatkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran," kata Popik dikutip dari situs Kementerian Perhubungan, Jumat (24/5/2013)
Ia menuturkan, kapasitas parkir untuk gedung kantor pemerintah di kota-kota besar seperti Tokyo berkisar untuk 20 sampai dengan 40 kendaraan setara mobil sedan. Untuk bangunan gedung perniagaan berkisar antara 50 sampai 100 kendaraan dengan biaya sebesar 600 yen/jam atau jika di kurs ke rupiah sekitar Rp 60.000/jam (1 yen= Rp 100).
"Bangunan ukuran ruko untuk perkantoran swasta atau pertokoan rata-rata hampir tidak memiliki tempat parkir tersendiri," jelas Popik.
Popik menjelaskan untuk parkir di tepi jalan diperbolehkan secara longitudinal pada ruas jalan tertentu dengan batasan parkir maksimum bervariasi antara 15 menit sampai dengan 60 menit dengan biaya bervariasi mulai dari 300 yen (Rp 30.000) sekali parkir dan setelah waktu yang ditentukan mobil harus segera keluar dari tempat parkir tersebut.
Mengenai tempat parkir umum, lanjut Popik, kapasitas maksimumnya antara 10 sampai 30 kendaraan dan lokasi parkir ini untuk wilayah tertentu berjarak sekitar 700 meter antar tiap lokasi parkir, dengan biaya parkir mulai dari 800 yen per jam.
Sedangkan untuk biaya tol di Jepang berlaku sama baik di kota Tokyo maupun kota lainnya yaitu sekitar 600 yen untuk jarak terdekat dan 3.000 yen untuk jarak terjauh.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan dalam berkendaraan, pemerintah Jepang memberlakukan sanksi yang sangat ketat mulai dari sanknsi teringan yaitu berupa denda sampai yang terberat yaitu hukuman kurungan.
Ia mencontohkan pelanggaran terhadap aturan parkir akan dikenakan denda 6.000 yen (Rp 600.000). Menelepon pada saat mengemudikan kendaraan dikenakan denda 6.000 yen. Pelanggaran terhadap rambu maupun lampu lalu-lintas dikenakan denda 15.000 yen.
"Apabila terjadi pelanggaran berulang akan dikenakan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) dari pelanggar tersebut. Pencabutan Surat Izin ini sangat dihindari oleh pengemudi mengingat proses pembuatan SIM yang sangat ketat dan diperlukan waktu jeda yang cukup lama untuk dapat memperoleh kesempatan kembali mendapatkan SIM," jelas Popik.
Salah satu faktor lain yang mendukung Jepang mengalihkan warga yang menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi umum yaitu tingginya harga BBM yang diberlakukan pemerintah. Saat ini harga BBM di Jepang berkisar antara 140 sampai dengan 170 yen per liter (Rp 17.000) tergantung kualitas BBM-nya.
Selain itu, menurutnya masih ada satu langkah lagi yang dianggap paling berperan dalam membatasi jumlah kendaraan di Jepang. Popik menjelaskan, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Pemilik kendaraan bermotor harus dapat menunjukkan bukti bahwa telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan dibelinya, atau telah melakukan sewa kontrak untuk parkir kendaraan yang lokasinya maksimum sejauh 2 km dari kediaman pemilik dengan biaya sewa sekitar 30.000 sampai 40.000 yen perbulan. Terhadap tempat parkir baik yang dimiliki sendiri atau kontrak sewa dapat dilakukan pembuktian atas lokasi yang diajukan pemilik oleh pejabat yang berwenang.
"Dengan demikian apabila seseorang berniat membeli kendaraan bermotor baru maka mau tidak mau harus menjual kendaraan yang lama atau apabila kendaraan tersebut tidak laku untuk dijual akan dilakukan pemusnahan (scrapping) melalui jasa layanan scrapping dengan biaya resmi mulai dari 70.000 sampai 150.000 Yen tergantung ukuran kendaraannya," jelas Popik.
Langkah-langkah tersebut, ungkap Popik, diimbangi oleh pemerintah Jepang yang mendelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bertransportasi, dan mendorong pihak swasta dalam menyediakan kendaraan angkutan umum yang memadai serta mudah ditemui dan relatif dapat menjangkau hampir seluruh arah dan tujuan.
Pemerintah Jepang sangat memprioritaskan penggunaan angkutan umum mempergunakan kereta api dan bus. Keberpihakan pemerintah Jepang terhadap angkutan umum terlihat dari pemberian kompensasi khusus kepada pengusaha angkutan umum melalui kemudahan dan keringanan pajak hingga pemberian subsidi agar harga tiketnya terjangkau oleh masyarakat.
Untuk menjaga agar kualitas sarana serta prasarana angkutan umum seperti bus dan kereta api selalu memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan, pemerintah selain menetapkan peraturan terhadap pengoperasian kendaraan angkutan umum juga melakukan pengawasan terhadap kualitas sarana dan prasarana dari keseluruhan sistem yang ada.
Atase Perhubungan Indonesia di Tokyo Jepang Popik Montanasyah mengatakan, pemerintah Jepang secara prinsip tidak membatasi atau melarang secara langsung kepada masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor berapapun jumlahnya.
"Pembatasan jumlah kepemilikan kendaraan di Jepang dimulai dari sisi eksternal pendukung yaitu tempat parkir yang sangat terbatas, pengenaan biaya parkir, biaya tol dan harga BBM yang tinggi serta hukuman dan denda yang memberatkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran," kata Popik dikutip dari situs Kementerian Perhubungan, Jumat (24/5/2013)
Ia menuturkan, kapasitas parkir untuk gedung kantor pemerintah di kota-kota besar seperti Tokyo berkisar untuk 20 sampai dengan 40 kendaraan setara mobil sedan. Untuk bangunan gedung perniagaan berkisar antara 50 sampai 100 kendaraan dengan biaya sebesar 600 yen/jam atau jika di kurs ke rupiah sekitar Rp 60.000/jam (1 yen= Rp 100).
"Bangunan ukuran ruko untuk perkantoran swasta atau pertokoan rata-rata hampir tidak memiliki tempat parkir tersendiri," jelas Popik.
Popik menjelaskan untuk parkir di tepi jalan diperbolehkan secara longitudinal pada ruas jalan tertentu dengan batasan parkir maksimum bervariasi antara 15 menit sampai dengan 60 menit dengan biaya bervariasi mulai dari 300 yen (Rp 30.000) sekali parkir dan setelah waktu yang ditentukan mobil harus segera keluar dari tempat parkir tersebut.
Mengenai tempat parkir umum, lanjut Popik, kapasitas maksimumnya antara 10 sampai 30 kendaraan dan lokasi parkir ini untuk wilayah tertentu berjarak sekitar 700 meter antar tiap lokasi parkir, dengan biaya parkir mulai dari 800 yen per jam.
Sedangkan untuk biaya tol di Jepang berlaku sama baik di kota Tokyo maupun kota lainnya yaitu sekitar 600 yen untuk jarak terdekat dan 3.000 yen untuk jarak terjauh.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan dalam berkendaraan, pemerintah Jepang memberlakukan sanksi yang sangat ketat mulai dari sanknsi teringan yaitu berupa denda sampai yang terberat yaitu hukuman kurungan.
Ia mencontohkan pelanggaran terhadap aturan parkir akan dikenakan denda 6.000 yen (Rp 600.000). Menelepon pada saat mengemudikan kendaraan dikenakan denda 6.000 yen. Pelanggaran terhadap rambu maupun lampu lalu-lintas dikenakan denda 15.000 yen.
"Apabila terjadi pelanggaran berulang akan dikenakan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) dari pelanggar tersebut. Pencabutan Surat Izin ini sangat dihindari oleh pengemudi mengingat proses pembuatan SIM yang sangat ketat dan diperlukan waktu jeda yang cukup lama untuk dapat memperoleh kesempatan kembali mendapatkan SIM," jelas Popik.
Salah satu faktor lain yang mendukung Jepang mengalihkan warga yang menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi umum yaitu tingginya harga BBM yang diberlakukan pemerintah. Saat ini harga BBM di Jepang berkisar antara 140 sampai dengan 170 yen per liter (Rp 17.000) tergantung kualitas BBM-nya.
Selain itu, menurutnya masih ada satu langkah lagi yang dianggap paling berperan dalam membatasi jumlah kendaraan di Jepang. Popik menjelaskan, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Pemilik kendaraan bermotor harus dapat menunjukkan bukti bahwa telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan dibelinya, atau telah melakukan sewa kontrak untuk parkir kendaraan yang lokasinya maksimum sejauh 2 km dari kediaman pemilik dengan biaya sewa sekitar 30.000 sampai 40.000 yen perbulan. Terhadap tempat parkir baik yang dimiliki sendiri atau kontrak sewa dapat dilakukan pembuktian atas lokasi yang diajukan pemilik oleh pejabat yang berwenang.
"Dengan demikian apabila seseorang berniat membeli kendaraan bermotor baru maka mau tidak mau harus menjual kendaraan yang lama atau apabila kendaraan tersebut tidak laku untuk dijual akan dilakukan pemusnahan (scrapping) melalui jasa layanan scrapping dengan biaya resmi mulai dari 70.000 sampai 150.000 Yen tergantung ukuran kendaraannya," jelas Popik.
Langkah-langkah tersebut, ungkap Popik, diimbangi oleh pemerintah Jepang yang mendelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bertransportasi, dan mendorong pihak swasta dalam menyediakan kendaraan angkutan umum yang memadai serta mudah ditemui dan relatif dapat menjangkau hampir seluruh arah dan tujuan.
Pemerintah Jepang sangat memprioritaskan penggunaan angkutan umum mempergunakan kereta api dan bus. Keberpihakan pemerintah Jepang terhadap angkutan umum terlihat dari pemberian kompensasi khusus kepada pengusaha angkutan umum melalui kemudahan dan keringanan pajak hingga pemberian subsidi agar harga tiketnya terjangkau oleh masyarakat.
Untuk menjaga agar kualitas sarana serta prasarana angkutan umum seperti bus dan kereta api selalu memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan, pemerintah selain menetapkan peraturan terhadap pengoperasian kendaraan angkutan umum juga melakukan pengawasan terhadap kualitas sarana dan prasarana dari keseluruhan sistem yang ada.
Sumber : detikOtomotif,
24.05.13.
[English Free Translation]
The Japanese government
has effective policies to divert private vehicle users to switch to mass
transit. Central government and local governments in Indonesia should learn and
follow the example of what is Japanese doing.
No comments:
Post a Comment