indopos.co.id – Pada 24 Maret
2020, hari ini Selasa genap setahun Moda
Raya Terpadu atau mass trapid transportatin (MRT) Jakarta
Tahap 1 dari Bundaran HI ke Lebak Bulus
beroperasi dan membantu mengantarkan sekitar 90 ribu penumpang per harinya,
menembus kemacetan ibu kota.
Jumlah penumpang tersebut
melebihi target awal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni 65 ribu penumpang
per hari bahkan dalam waktu kurang dari setahun, penumpang MRT mencapai 24,6
juta penumpang hingga akhir Desember 2019.
Bisnis perkeretaapian MRT bisa
dibilang mulus tanpa hambatan berarti, seiring meningkatnya apresiasi dan
kepercayaan masyarakat terhadap kereta Ratangga ini.
Diharapkan tingkat keterisian
penumpang pada tahun ini bisa terus bertambah, yakni 100 ribu penumpang
terangkut (ridership) setiap hari dari kapasitas maksimal 173.000 penumpang per
hari.
Namun, dalam bisnis
perkeretaapian, MRT tidak bisa mengandalkan sumber pendapatan tetap atau dari
captive market, yaitu tiket (farebox), tetapi harus mencari potensi lain di
luar tiket (non-farebox).
Direktur
Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) William Sabandar menyebut, porsi pendapatan nonfarebox sepanjang
pengoperasian pada 2019, lebih tinggi daripada farebox, yakni 24 persen atau
sekitar Rp225 miliar dibandingkan tiket (farebox) sebesar 18 persen atau
sekitar Rp180 miliar.
Pendapatan non-tiket ini
diperoleh dari iklan, hak penggunaan nama (naming right) stasiun, jaringan
komunikasi, dan penyewaan ruang komersial atau retail. Dari itu semua, naming
right masih menyumbang pendapatan tertinggi. Saat ini, nilai tertinggi
dibayarkan oleh Grab untuk Stasiun Lebak Bulus, yaitu Rp33 miliar per tahun.
Upaya menggenjot pendapatan
non-farebox ini akan terus dikejar tidak hanya di Tahap 1, tetapi juga di Tahap
2, dengan konstruksi sarana dan prasarana yang dibangun secara simultan dengan
integrasi moda, dalam hal ini, Transjakarta serta kawasan berorientasi transit
(TOD).
Integrasi moda ini diharapkan
bisa menjadi magnet yang menarik masyarakat untuk menggunakan angkutan massal
karena mobilitas serta perpindahan moda menjadi tanpa halangan (seamless).
“Fase I di Dukuh Atas, Istora,
Senayan, Blok M, Fatmawati, dan Lebak Bulus. Fase II mengembangkan berbagai
kawasan seperti Thamrin kemudian Harmoni, Kota Tua yang akan kita lihat karena
cagar budaya dan pusat wisata yang bisa diintegrasikan,” kata William.
Memanfaatkan
Ruang Komersial
Seiring itu pula, akan banyak
ruang komersial yang bisa dimanfaatkan untuk menghimpun pundi-pundi pendapatan
di luar tiket. “Bisnis kita bisnis kereta mengangkut penumpang, itu core bisnis
(bisnis inti) enggak boleh kita compromise, harus kita jaga, kita enggak bisa
bersandar dari core business,” terang dia.
Dia sudah dapat captive market,
kutip William, MRT tanpa ngapa-ngapain orang pasti naik, tapi sekarang
masalahnya apakah dengan itu kita cukup? Enggak. “Kita cari pendapatan yang
lain dengan non-farebox,” kata Direktur
Pengembangan Bisnis MRT Jakarta Ghamal Peris.
Ghamal mengatakan, untuk
memaksimalkan pendapatan non-farebox, pihaknya menyederhanakan persyaratan
untuk lelang sebagai strategi bisnis dan untuk naming right.
Hasilnya, lanjut dia, dua kali
lipat dari proses tender tahap awal. Sebagai contoh saat membuka tender naming
right untuk Stasiun Lebak Bulus senilai Rp10 miliar per tahun, tidak satu pun
pihak melirik karena sulitnya persyaratan, seperti perusahaan yang berhak
menggunakan hak nama hanya yang berjarak maksimal 700 meter.
Dengan mengubah persyaratan
menjadi lebih mudah, akhirnya hak nama tersebut berhasil diteken dengan
perusahaan rintisan (start up) Grab Indonesia dengan nilai kontrak Rp33 miliar
per tahun.
“Ini pendapatan luar bisa untuk
Lebak Bulus Grab, lima tahun kontrak setara dengan satu per empat biaya
konstruksi satu stasiun. Jadi, selama lima tahun kita sudah ter-cover,”
katanya.
Ghamal menambahkan, selain itu
juga ada kontrak dengan bank serta penyedia telekomunikasi di mana semua
dikenakan biaya untuk masuk ke wilayah komersial MRT. “Kita harus lihat value
(nilai) yang didapat oleh mereka. Oke, pengguna pemegang kartu mereka banyak,
tapi kita juga punya penumpang banyak,” ujarnya.
Memaksimalkan
Kawasan Berorientasi Transit (TOD)
Ia mengatakan, pihaknya akan
memaksimalkan bisnis
kawasan berorientasi transit atau
(TOD) yang akan menjadi sumber pendapatan non-farebox
terbesar, potensinya hingga Rp242
triliun per tahun apabila dimanfaatkan
secara maksimal.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
telah menunjuk MRT
Jakarta sebagai master development untuk pembangunan TOD melalui Pergub
Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development.
Namun, Ghamal menilai proyek TOD
di Jakarta sangat menantang karena MRT Jakarta tidak memiliki lahan dan tidak
mungkin membebaskan lahan sekitar stasiun yang sarat bangunan perkantoran dan
area bisnis.
“Jadi, kita selalu berpikir kita
ini value creator, kita punya 13 stasiun dan yang namanya TOD itu radius 700
meter dari stasiun. Ini sudah memberikan efek ke properti. Jadi kalau Anda
lihat contohnya Blok M Plaza bisa mendapatkan 25.000 pengunjung per hari,
biasanya 15.000. Itu tidak ngapa-ngapain loh,” ungkapnya.
Bayangkan, kata dia, kalau mereka
keluarkan untuk marketing berapa biayanya. “Ini creator-nya MRT, masa MRT
enggak dapat. Di sinilah kita berpikir keras bagaimana monetizing area TOD
ini,” katanya.
Apabila TOD di Jepang dan Hong
Kong dibangun karena konsesi lahan, MRT Jakarta memiliki konsep lain, yakni
dengan konsesi udara, artinya apabila pengembang ingin membangun atau
meningkatkan properti yang dilintasi MRT, maka MRT mendapat timbal balik (value
capture) dari situ karena area bisnis atau perumahan menjadi ramai atau
nilainya bertambah karena adanya MRT.
“Saya nggak minta konsesi lahan
saya minta udaranya itulah yang diberikan ke MRT. Jadi KLB (koefisien lantai
bangunan) itu terjadi karena MRT. Jadi, MRT harus dapat kesempatan monetizing
sebagian value bukan semuanya untuk MRT,” tuturnya.
Namun, sejatinya TOD juga akan
mengubah wajah Jakarta. Dengan kemudahan menjangkau area perumahan, bisnis, dan
perbelanjaan karena terdapat di satu kawasan, kualitas hidup akan meningkat dan
tentu saja kemacetan lambat laun akan berkurang.
Lima Kawasan TOD itu, di
antaranya Kawasan Dukuh Atas dengan tema “Kolaborasi Gerak, Kawasan
Istora-Senayan dengan tema “Beranda Pelita Indonesia”, Kawasan Blok M dengan
tema “Kota Taman di Selatan Jakarta”, Kawasan Fatmawati dengan tema “Sub-Pusat
Selatan Kota Jakarta yang Dinamis dan Progresif” dan Kawasan Lebak Bulus dengan
tema “Gerbang Selatan Jakarta”.
Menurut
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, jika TOD sudah terbangun dan beroperasi, maka tidak
tertutup kemungkinan MRT bisa lepas dari subsidi.
“Di Jepang juga tanpa subsidi
bisa jalan karena memang mereka jualan TOD. Pemda DKI dan MRT kalau jualan TOD,
lalu komersial, iklannya jalan dan sedikit demi sedikit mengurangi subsidi,”
katanya. (ant)
Sumber : Indopos, 24.03.20 / Foto CNN Indonesia.
[English Free Translation]
On March 24, 2020, a year Moda
Raya Integrated or mass rapid transportation (MRT) Jakarta Phase 1 from the Bunderan
HI to Lebak Bulus operates and helps deliver around 90 thousand passengers per
day, through traffic congestion in the capital. Happy 1st Anniversary MRT.
No comments:
Post a Comment