Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
(Persero), baru saja terpilih menjadi CEO
of Choice 2013. Penghargaan ini diberikan Majalah SWA terhadap
para pemimpin perusahaan yang mendapatkan penilaian tinggi dari enam kriteria,
yakni magnitude, complexity,
inovasi, menciptakan pemimpin, performa, dan governance.
Berdasarkan kriteria itu, Dirut
KAI berhasil menjadi yang terbaik. Menyusul kemudian, Zulkifli Zaini (Mantan
Dirut Bank Mandiri), Sudirman MR (Presiden Direktur Astra Daihatsu Motor),
Iskandar (Dirut Biofarma), dan Dwi Soetjipto (Dirut Semen Gresik).
Berikut penuturan Jonan terkait
kondisi di tubuh KAI kepada Ester Meryana dari SWA Online:
Dari dulu hingga nanti moda
kereta api akan tetap jadi pilihan
Makin makmur suatu masyarakat, kecenderungan untuk menggunakan
moda transportasi yang lebih baik itu akan lebih tinggi.Long distance trainkami
memang bersaing dengan budget airline (maskapai berbiaya murah). Tetapi kami
percaya bahwamarket niche itu juga ada sendiri. Bila melihat door
to door cost, maksudnya, dari tengah kota satu ke tengah kota yang
lain itu harga karcis kereta api saya kira kelas I hanya 50 persen dari budget
airline. Untuk itu, kami konsentrasi untuk yang commuter , ini regional
train, seperti kereta listrikcommuter Jabodetabek.
Waktu saya masuk kereta api
awal 2009, itu kapasitas KRL Jabodetabek itu kira-kira hanya 300-350 ribu
penumpang per hari. Hari ini, itu sekitar 550 ribu penumpang per hari. Bisa
hampir 600 ribu. Target kami di 2018, itu menjadi 1,2 juta penumpang sehari.
Ini ngomongnya gampang. Kalau Pak Emirsyah Satar (Dirut Garuda Indonesia)
menerbangkan pesawat, itu relnya yang buat Tuhan Yang Maha Esa, kalau saya
nggak.
Bukan saya bilang pekerjaan Pak
Emirsyah lebih mudah, bukan. Cuma tantangannya beda. Kalau mengangkut 1,2 juta
penumpang per hari, perlu pembenahan stasiun, harus bangun rel, dan sebagainya.
Di 2018, kami mau angkutan penumpang dengan kereta api baik long
distance maupun
regional itu kira-kira 600 juta penumpang per tahun. Cukup banyak. Tiga kali
lipat dalam sepuluh tahun. Jadi, ini dimulai dari tahun 2009.
KAI pun berbenah
Ini sebenarnya progress improvement mohon dilihat dari segi kepentingan yang
lebih banyak. Misalnya, Stasiun Depok, 20 tahun yang lalu, sebagian peron itu
kami sewakan untuk kios. Tapi jumlah penumpangnya kala itu masih 100 ribu.
Sekarang karena jumlah penumpangnya itu hampir 600 ribu dalam satu hari, itu
pilihannya cuma dua: peronnya dilebarkan atau tidak bisa meningkatkan
kapasitas.
Kalau stasiun mau dibangun elevated ke atas
ongkosnya besar sekali. Itu biayanya mungkin puluhan triliun untuk seluruh
jaringan Jabodetabek. Perlu diketahui jaringan Jabodetabek panjang relnya 450
kilometer. Ini dilakukan penataan ulang. Pekerjaannya kelihatan mudah, tapi
nggak juga. Sampai hari ini jumlah kios yang ditertibkan di seluruh Stasiun
Jabodetabek itu jumlahnya nggak banyak, lebih dari 3.700 kios.
Bulan depan, kami juga akan mulai menerapkan pakai elektronik tickecting dan elektronik gate.
Karena pelayanan penumpang kalau sampai di atas 500 ribu per hari untuk commuter itu
tidak mungkin dilakukan penjualan tiket dengan manual, dengan manusia. Harus
pakai kartu, harus pakai elektronikgate.
Saya tidak pernah bilang kalau ini jalan. Ini harus jalan. Kalau tidak jalan,
orang yang bertanggung jawab atas tugas ini akan diganti.
Ini harus jalan. Kalau tidak
jalan kapasitasnya tidak naik. Jadi ini satu tantangan yang menurut saya besar
sekali.
Ketika KAI memandang perusahaan sejenis
Kalau Pak Emirsyah (Garuda Indonesia) bandingan perusahaan
penerbangan sejenis Garuda masih ada, walau tidak apple
to apple. Misalnya
Lion air, kompetitor paling dekat walau itu budget airline.
Kalau di luar negeri bandingannya lebih banyak, kalau mau dikomparasi, dan lain
sebagainya.
Saya juga cari komparasi dari satu operator kereta api yang
menurut perkeretaapian di dunia itu salah satu yang sophisticated.
Jadi, East
Japan Railway Company (JR
East). JR East itu mengoperasikan sarana dan prasana, trafiknya juga. JR East
dulu adalah badan yang berada di bawah kementerian transportasi di Jepang, lalu
dipecah menjadi badan usaha sendiri, dan sekarang sudah go
public.
Dari sisi penumpang, KAI itu
kecil, sedangkan JR East bisa 6 miliar orang dalam satu tahun. KAI itu 203 juta
penumpang. Kalau ditambah barang yang dikonversi jadi orang sekitar 433 juta
orang penumpang, hari ini. JR East sendiri tidak banyak angkutan barangnya.
Dari sisi pendapatan dalam US$, JR East menghasilkan US$ 30
miliar satu tahun. Mungkin kira-kira hampir sepuluh kalinya Garuda Indonesia.
Perlu diketahui, JR East lebih besar dari JAL plus ANA. Kalau KAI masih kecil,
tahun lalu, revenue US$ 700 juta. Kereta api itu kalau
menaikkan harga karcis Rp 500 saja, yang ribut banyak.
Saya ingin gambarkan bahwa
secara kapasitas korporasi, KAI masih bisa berkembang dengan baik. Sumber
pendapatan kalau dari angkutan, JR East 70 persen, kami di KAI masih 93 persen.
Ini masih tinggi sekali. Apalagi properti, stasiun, dan lainnya, belum
dikembangkan.
Kalau bicara produktivitas manusia ini menarik. Ini mungkin bisa
didebat. Kalau kita lihat JR East itu karyawan organiknya 72 ribu, sedangkan
KAI sebanyak 27 ribu. Jadi, jangan kira bahwa JR East itu memang pemeriksaan
jalan relnya setiap subuh itu menggunakan robot, tetapi juga setelah robot itu
dilewati manusia. Jadi, dia tidak menggunakan robotik 100 persen.
JR East, keuntungan harian per
karyawan sebesar US$ 52, dan PDB per kapitanya kira-kira US$ 38 ribu, itu rata-rata
dalam 10 tahun, atau US$ 105 per hari. Jadi, keuntungan harian per karyawan
versus PDB per kapita per hari JR East itu 50 persen. Maksudnya, keuntungan
yang dihasilkan oleh setiap pegawai JR East setiap hari itu US$ 52. Itu sama
dengan 50 persen dari PDB per kapita per hari di Jepang.
Di KAI sendiri, jumlah pegawai
27 ribu. Keuntungan hariannya kecil, yakni US$ 4,5. Malah mungkin kurang, yakni
US$ 4,4 di 2012. PDB per kapita kita tahun lalu US$ 3.700, atau kira-kira US$
10 per hari. Keuntungan harian per karyawan versus PDB per kapita per hari di
Indonesia itu 45 persen.
Jadi, kalau Anda bilang bahwa
produktivitas KAI rendah, saya kira nggak. Ini dibandingkan dengan Jepang loh.
Menurut saya ini tidak jelek untuk ukuran moneter. Ukuran ini yang saya pakai
setiap saat saya bicara secara internal, bahwa produktivitas pegawai kereta api
ukurannya harus moneter, walaupun kewajiban PSO-nya besar, tapi kan pegawai
kereta api juga tidak mau dibayar separuh uang, separuhnya janji. Pasti nggak
mau. Saya juga cek secara survei, mungkin kompensasi pegawai KAI dengan pegawai
BUMN lain kurang lebih relatif sama. Jadi, ini indeks yang saya pakai.
Seperti apa KAI ke depan?
Ini pengembangan ke depan, sampai 2020, angkutan barang
kira-kira diharapkan menjadi 60 juta ton.Commuter
servicenya dari 500 ribu menjadi 1,5 juta penumpang. Jarak jauh
nggak bertambah banyak, ya kira-kira 35 persen. Karena bersaing dengan pesawat
terbang, kecuali ke kota-kota yang tidak ada bandaranya.
Orang selalu tanya sama saya, “Kenapa nggak mau saingan dengan
Garuda Indonesia? Itu membuathigh
speed train.” Dengan kereta jenis itu, Jakarta-Surabaya bisa tiga
atau empat jam saja. Itu pasti bersaing dengan Garuda. Saya bilang seperti ini,
“Ini secara teknologi mungkin, yang tidak mungkin itu secara sosial. Kecuali, tracknya
dibangun di atas.” Tapi, kalau dibangun di atas, ongkosnya itu 15 kali lebih
tinggi.
Kalau track dibangun di atas itu biayanya US$ 200
miliar untuk high speed train.
Dan uangnya pasti tidak pernah akan kembali. Kenapa harus dibangun di atas itu
demi menghindari perlintasan liar, yang disebut unofficial dan unattended level crossing.
Itu, perlintasan liar, dari Stasiun Jakarta-Kota sampai Pasar Turi-Surabaya
jumlahnya sekitar 4.500. Itu kalau ditutup se-Jawa itu pasti perang. Jadi, saya
kira ini saya sulit. (EVA)
Sumber : Majalah SWA edisi 20 Mei 2013.
[English Free Translation]
Ignasius Jonan, President Director of PT Kereta Api Indonesia
(Persero), newly elected as CEO of Choice 2013. This award given by SWA
Magazine to corporate leaders who get high ratings from the six criteria,
namely : the magnitude, complexity, innovation, create leaders, performance,
and governance.
No comments:
Post a Comment