Topik tentang bagaimana membiayai perjalanan atau mobilitas di Tanah Air
kita merupakan isu yang tak akan pernah usai dibahas.
Per 1 Oktober 2012 yang lalu PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) telah
menaikkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek sebesar
Rp 2.000. Untuk jurusan Tangerang-Jakarta, misalnya, kenaikan tarif yang terjadi
adalah 36% dari tarif awal, sementara untuk jurusan Bogor-Jakarta, kenaikan ini
adalah 28,5%.
Dalam Catatan Akhir KA Prambanan Ekpress (Kompasiana, 25/12/2011) yang
melayani rute Kutoarjo, Yogyakarta dan Surakarta, pengamat transportasi
Yusticia Arif mencatat kenaikan tarif KA sebesar lebih dari 40% dari tarif awal
Rp 7.000 pada 2010 menjadi Rp 10.000 di periode penghujung 2012.
Pasal larangan penggunaan APBN dan APBD untuk mensubsidi penyelenggaraan
angkutan umum dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) nampaknya menjadi
biang keladi mahalnya tarif angkutan umum KA. Perusahaan pengelola angkutan
umum dituntut untuk menutup biaya operasi lewat pembebanan pada tarif dibayar
masyarakat pengguna.
Di sisi lain, pada Oktober 2012 pemerintah juga telah mengesahkan anggaran
untuk subsidi bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 193 trilyun rupiah dan
pada saat yang sama, laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di
kota-kota besar mencapai puncaknya. D. Rukmana (Jakarta Post, 2010) mencatat
bahwa di Jakarta, misalnya, pertumbuhan laju kepemilikan kendaraan roda empat
mencapai 10% per tahun dan sepeda motor 15% per tahun.
Tanpa adanya perubahan kebijakan di tingkat nasional, di tahun-tahun
mendatang kita tidak akan dapat melihat perkembangan lain selain pembengkakan
dari angka subsidi BBM yang besarnya tahun lalu sudah lebih dari tiga kali
anggaran sektor pendidikan.
Beberapa contoh praktek pembiayaan mobilitas di atas memancing beberapa
pertanyaan: mekanisme apa yang menjadi mendasari pengaturan pembiayaan
mobilitas di Tanah Air kita?
Prinsip user payer
Peraturan Menteri Perhubungan No. 49 tahun 2005 tentang Sistem Transportasi
National (Sistranas) secara jelas menyebut adanya tuntutan arus globalisasi
yang menyebabkan adanya perubahan tatanan pengaturan di bidang transportasi
dari sifat sentralistik ke desentralistik dan dari sifat dominasi pemerintah
kepada mekanisme pasar.
Pengaturan bidang transportasi yang desentralistik dan didasari pada
mekanisme pasar terkait dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 di mana 'efisiensi'
menjadi kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain,
dengan pengaturan transportasi yang berlandaskan mekanisme pasar pemerintah
bertujuan mencapai suatu sistem transportasi yang efisien.
Salah asas yang biasa dipakai dalam mekanisme pasar untuk mencapai
efisiensi adalah prinsip pengguna membayar atau user payer. Prinsip ini
mengasumsikan bahwa efisiensi suatu sistem pasar akan tercapai saat pengguna
membayar semua biaya aktivitas yang ia lakukan termasuk juga dampak negatif
aktivitasnya tersebut.
Prinsip user payer inilah yang nampaknya sudah mulai diterapkan dalam
pengelolaan angkutan umum di negara kita. Dua contoh kecil di atas, kereta
Jabodetabek dan Prameks memperlihatkan 'kesungguhan' pemerintah dalam
menerapkan asas ini: penghapusan pemberian subsidi lewat PSO dan naiknya tarif
kereta yang memperlihatkan bahwa pengguna jasa kereta api menanggung sepenuhnya
biaya operasi.
Namun herannya, kesungguhan penerapan prinsip user payer ini tidak terlihat
dalam pengelolaan kendaraan bermotor pribadi. Subsidi BBM yang begitu tinggi
memperlihatkan penganakemasan moda kendaraan bermotor pribadi.
Jika prinsip user payer yang merupakan salah satu asas mekanisme pasar
hendak diterapkan secara konsekuen, pemerintah seharusnya tidak hanya menghapus
subsidi BBM untuk kendaraan bermotor pribadi.
Lebih dari sekadar menghapus subsidi BBM pemerintah harusnya juga berani
untuk menerapkan charging, pajak atau pungutan bagi para pengguna kendaraan
bermotor pribadi berkaitan dengan dampak buruk (eksternalitas) terhadap
lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan moda tersebut lewat polusi udara,
kebisingan, efek rumah kaca dan dampak sosial ekonomi lainnya terkait dengan
perawatan jalan maupun kemacetan terutama di perkotaan.
Yang terlupakan
Yang seakan terlupakan oleh pemerintah dalam usahanya mencapai efisiensi
sistem transportasi lewat mekanisme pasar adalah asas level playing field.
Secara garis besar asas ini menuntut adanya keadilan dalam pelaksanaan suatu
mekanisme pasar yaitu dengan garis start yang sama untuk berkompetisi atau
bersaing bagi moda yang berbeda-beda.
Garis start yang sama atau level playing field dalam dunia transportasi
dapat diartikan sebagai tingkat pembangunan infrastruktur yang berimbang antar
moda transportasi yang berbeda. Di negara kita misalnya kemapanan infrastruktur
jalan raya jelas jauh melebih kemapanan infrastruktur jalan rel. Melepaskan
kedua moda angkutan penumpang ini untuk bersaing dalam pasar bebas jelas bukan
mengabaikan aspek keadilan yang ada pada asas playing field.
Dari segi pembiayaan, asas level playing field tidak melarang adanya
subsidi bagi moda yang tertinggal. Pemberian PSO sebagai subsidi bagi angkutan
umum kereta api misalnya adalah hal yang direkomendasikan lewat penerapan asas
ini. Asas ini juga merekomendasikan pungutan atau charging untuk
menginternalisasi segala dampak negatif yang ditimbulkan kendaraan bermotor
pribadi.
Intinya, di luar masalah kesenjangan dalam pembangunan infrastuktur,
persaingan antara moda kendaraan bermotor pribadi dan angkutan umum hanya akan
adil pada saat subsidi BBM dihapuskan dan PSO untuk angkutan umum diberlakukan.
Revisi Normatif
Undang-undang yang mengatur sistem transportasi nasional di negara-negara
maju seringkali justru tanpa malu-malu menganak-emasan sistema angkutan umum.
Di Perancis misalnya, pasal 3 undang-undang haluan transportasi nasional (LOTI)
secara eksplit menegaskan bahwa dalam angkutan penumpang, kebijakan
transportasi nasional (Perancis) memberikan prioritas pada pembangunan dan
pengembangan angkutan umum.
Mekanisme pasar pada dasarnya juga melandasi undang-undang sistema
transpotasi nasional di negara-negara tersebut. Pada prakteknya hal ini
dilakukan dengan terlebih dulu menempatkan moda transportasi yang berbeda pada
garis start persaingan yang sama dengan secara eksplisit mengambil kebijakan
diskriminatif misalnya lewat subsidia atau penerapan PSO yang menganakemaskan
moda angkutan umum.
Kesimpangsiuran pembiayaan movilitas di negara kita nampaknya bukan hanya
ada di level teknis atau lapangan di mana konsep mekanisme pasar yang dianut
masih diselewengkan dengan penerapan konsep user payer yang jelas masih
menguntungkan moda kendaraan bermotor pribadi.
Kesimpangsiuran pembiayaan ini juga terjadi di level normatif Sistranas
sendiri: mekanisme pasar yang dianut dalam Sistranas tidak secara eksplisit
diperkuat dengan asas level playing field yang akan mendasari aspek keadilan
dari mekanisme tersebut.
Sumber : Joko Purwanto adalah blogger &
peneliti bidang transport ekonomi di Transport & Mobility Leuven, Belgia.
[English Free
Translation]
The topic of how to
finance the trip or mobility in our country is an issue that will never be
covered over.
No comments:
Post a Comment