Rencana pemerintah terkait
dengan pengenaan bea keluar atau pajak ekspor batu bara menimbulkan reaksi luar
biasa keras. Gaung perlawanan yang kuat keluar dari ruang Konferensi Coaltrans
Asia ke-18 di Bali yang berlangsung
pekan ini.
Kebijakan bea keluar
merupakan bagian dari wacana pemerintah untuk mengendalikan produksi batu
bara, termasuk pembatasan ekspor batu bara menjadi minimal 5.700 Kkal/kg dan
pengaturan tata niaga baru bara sebagai komoditas yang diawasi ekspornya.
Kebijakan bea keluar batu
bara itu masih dalam proses kajian. Fokus pemerintah masih pada penyelesaian
rekonsiliasi izin usaha pertambangan yang jumlahnya sudah mencapai 10.000 izin.
Jumlah izin itu meningkat
luar biasa dibandingkan dengan jumlah sebelum berlakunya otonomi daerah yang
masih berjumlah 5.000. Peningkatan yang luar biasa juga terjadi dari sisi
produksi. Kalau pada 1998, produksi batu bara baru tercatat sebesar 60 juta
ton.
Jumlah produksi komoditas
itu meningkat pesat menjadi 253 juta ton pada 2011, lalu tahun ini
diperkirakan mencapai 332 juta ton, dan direncanakan menjadi sekitar 469 juta
ton, atau bahkan bisa mendekati 500 juta ton pada tahun depan.
Tidak mengherankan kalau
Indonesia saat ini menjadi eksportir batu bara terbesar kedua di dunia
setelah Australia.
Jumlah produksi batu bara
saat ini dinilai sangat besar dan bisa mengganggu persediaan untuk masa
datang. Kita bisa saja menghibur diri bahwa potensi batu bara nasional saat ini
masih aman.
Berdasarkan perhitungan,
cadangan batu bara nasional sebesar 28 miliar ton atau 3% dari total cadangan
batu bara dunia.
Dengan jumlah seperti ini,
batu bara akan habis dalam 90 tahun jika per tahun diproduksi sebanyak 350 juta
ton. Kalau tidak direm, kemungkinan cadangan itu akan habis bisa menjadi lebih
cepat. Maka secara substansial kebijakan yang dicanangkan pemerintah untuk
membatasi tren kenaikan produksi batu bara patut diapresiasi.
Kita tentu berharap, karena
masih dalam proses kajian, maka kebijakan itu ditetapkan dengan perhitungan
yang matang dan komprehensif berdasarkan berbagai masukan dan pertimbangan.
Salah satu yang mesti
diingat adalah masukan dari pihak Wood Mackenzie bahwa Indonesia bisa menjadi
tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain jika pemerintah mengenakan
pajak ekspor atau bea keluar terhadap batu bara.
Karena hal itu akan menambah
beban beban ongkos bagi perusahaan.
Sekadar diketahui, kalau pada 2006, beban ongkos sebesar US$16 per ton dan pada
2012 meningkat jadi US$53 per ton.
Jika ditambah pajak ekspor,
beban ongkos bisa bertambah rata-rata US$19 per ton atau meningkat 36%.
Kenyataan ini bisa membahayakan sekitar
68 juta ton ekspor batu bara Indonesia per tahun dan market value hingga US$11
miliar.
Terkait dengan beban ongkos
itu, maka pengenaan bea keluar itu harus mempertimbangkan apa yang sudah
ditanggung perusahaan batu bara selama ini, termasuk royalti dan beban nonpajak
lainnya.
Maka tidak ada cara lain,
pemerintah perlu mencari kebijakan yang bisa mendamaikan kepentingan
bisnis batu bara sebagai komoditas pada jangka pendek dan kepentingan energi
nasional jangka panjang.
Termasuk bahwa kebijakan bea
keluar batu bara harus ditempatkan dalam konteks dan pertimbangan kebijakan
energi nasional secara komprehensif, termasuk berbagai upaya untuk menghasilkan
energi alternatif dan mengembangkan potensi energi terbarukan.
Sumber : Bisnis Indonesia,
07.06.12.
[English Free Translation]
Government plans relating to
the imposition of export duties or taxes out of coal extraordinary lengths
cause a reaction. Echoes of the strong resistance out of the Coaltrans Asia
Conference to-18 in Bali which took place this week.
No comments:
Post a Comment