Jakarta
- Prasasti Sangguran dari tahun 928 yang berasal dari wilayah sekitar Malang telantar di Inggris dan belum berhasil dikembalikan
oleh keluarga Lord Minto, yang
menguasai prasasti itu lantaran meminta uang kompensasi. Lantas, apakah sepadan
bila untuk mengambil kembali prasasti itu dengan sejumlah uang kompensasi?
"Ya
saya kira diplomasi harus dikedepankan. Artinya bagaimana kita membuat
kesepakatan secara umum, agar prinsip bahwa kalau ini artefak milik orang
kembalikan ke negara asalnya," jelas sejarawan
dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana (foto atas), saat ditanya detikcom apakah
sepadan mengembalikan Minto Stone
dengan sejumlah kompensasi.
Hal
itu dikatakan Sri Margana usai diskusi Bedah
Sejarah VOC 1602 Batavia di Kemendikbud,
Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (11/2/2015).
Doktor
sejarah lulusan Universitas Leiden
Belanda ini menambahkan, Indonesia bisa melakukan diplomasi dengan barter artefak, bila memiliki artefak
dari negara lain.
"Menurut
saya, setiap artefak kalau saya termasuk orang paling setuju kalau itu
diserahkan kepada siapa pemiliknya. Sikap itu juga berlaku untuk
artefak-artefak kita yang ada di luar negeri. Kalau yang di Inggris (Minto
Stone) itu saatnya dikembalikan. Kalau semua orang begitu, maka terjadi saling
tukar menukar artefak," jelas pria berkaca mata ini.
Prasasti Sangguran dibawa
dari lokasi aslinya di Desa Ngandat,
Malang, pada tahun 1812 atas
perintah Gubernur Jenderal Inggris di
Pulau Jawa saat itu, Thomas Stamford Raffles.
Prasasti
itu dihadiahkan Raffles pada atasannya Gubernur Jenderal Inggris di India, Sir Gilbert Elliot atau Earls Minto I, yang kemudian membawa
prasasti itu di kediaman keluarganya di Hawick,
Roxburghshire, perbatasan Skotlandia dan Inggris.
Pengambilan
prasasti yang berisi kutukan itu mendapat izin dari penguasa lokal, Bupati
Malang saat itu, Kiai Tumenggung Kartanegara,
yang juga dikenal sebagai Kiai
Ranggalawe. Kiai Ranggalawe adalah keturunan penguasa di Surabaya, yang
dikenang sebagai bupati pertama Malang yang 'bersahabat'. Dia ditunjuk sekitar
tahun 1770, saat militer Belanda melakukan kampanye pada kalangan
pemberontak. Kiai Ranggalawe diketahui hidup hingga tahun 1820.
Dari
laporan dokumen sejarawan Inggris, Nigel
Boullough, didapati bahwa Pemerintah
Indonesia pada 2006 lalu sudah
mencoba melobi keluarga Lord Minto. Salah satu hal yang dibahas adalah bagaimana
nilai “Batu Minto” dapat ditaksirkan dengan uang. Ini tetap menjadi pertanyaan
yang amat sulit untuk dijawab secara memuaskan.
Sejarawan Inggris
Professor Michael Hitchcock menganjurkan bahwa, meskipun para Minto Trustees telah mencari nasehat dari
British Museum serta Victoria and Albert Museum, kiranya
kedua lembaga tersebut tidak akan menentukan harga bagi “Batu Minto”, terutama
karena lembaga publik dilarang melakukan taksiran terhadap sebuah benda.
Rupa-rupanya para ahli di museum tersebut telah mengatakan bahwa “Batu Minto”
mempunyai nilai yang “substansial” dan “signifikan”, dan nasehat inilah yang
ditafsirkan sendiri oleh para Trustees.
Khususnya
mengenai soal ganti rugi bagi keluarga Minto, Dubes RI di London saat itu, Marty Natalegawa memperlihatkan sikap
yang cukup tegas. Menurut Marty, penawaran kompensasi dalam bentuk uang, berapa
pun jumlahnya, merupakan tindakan yang kurang tepat.
Meskipun
beliau menyadari bahwa kasus seperti ini jarang sekali terjadi, rupa-rupanya
beliau khawatir bahwa kompensasi finansial untuk Lord Minto dapat menimbulkan
preseden bagi pemilik Warisan Budaya
Indonesia yang lain di masa depan.
Namun
hingga 2015 ini, sejarawan Peter BR
Carey mengatakan Prasasti Sangguran masih di pekarangan keluarga Lord
Minto. Menurutnya, keluarga Lord Minto meminta uang yang sangat banyak sebagai
imbal dari pengembalian prasasti itu.
"Pemerintah
sudah ada usaha, tapi mereka, orang Skotlandia pelit dan minta uang segunung, 70 ribu poundsterling," ungkap dia
saat ditemui di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat,
Jumat (6/2/2015) malam.
Sumber
: detikNews, 11.02.15.
[English
Free Translation]
Inscription
Sangguran (Prasasti Sangguran) in the year 928, from the area around Malang
stranded in the UK and has not been restored by the Lord Minto’s family, who
controlled the inscription because the’re asking for money compensation. The
Scots are known stingy and Lord Minto family reportedly requested compensation
of 70 thousand pounds. Wooow !
No comments:
Post a Comment