JAKARTA: Rabu
kemarin (tepatnya tgl 19/03/14 – redaksi) saya berkesempatan untuk ikut
menghadiri sebuah acara pameran printing terbesar di kota Solo. Kebetulan bos
mengajak saya untuk menemani lantaran pimpinan cabang yang biasa menjadi travel
mate-nya sedang menjaga istrinya yang kurang sehat. Jadilah saya pergi dengan
syarat tidak terlalu lama, karena jujur saja, saya masih belum bisa
meninggalkan anak saya terlalu lama (paling tidak untuk saat ini sih).
Berangkatlah
kami dengan pilihan transportasi jalur darat yakni, kereta api. Sejujurnya, ini
adalah salah satu hal yang bikin saya antusias untuk pergi, dan bukan karena
ingin mengetahui inovasi apalagi yang baru saja keluar di industri printing.
Selain tentu saja, traveling ke kota Surakarta yang pernah jadi keinginan untuk
melancong bersama anak istri. Pilihan jatuh kepada KA Argo Lawu, jurusan
Gambir-Solo Balapan dengan jadwal keberangkatan jam 20.20 WIB.
Ada dua
alasan yang membuat saya sangat antusias bepergian dengan kereta kali ini.
Pertama, saya belum pernah pergi jarak jauh menggunakan kereta api, sekalipun
untuk pulang kampung ke tanah kelahiran orang tua. Kedua, adalah buku dari
Dirut PTKAI yang berjudul (Ignasius) Jonan dan Evolusi Kereta Api Indonesia.
Buku ini adalah buku Indonesia pertama yang saya baca mengenai sebuah turn
around perusahaan besar yang pernah terjadi di negeri ini. Di kisahkan dari
awal berbagai macam rintangan Jonan dalam merubah budaya para pekerja KAI yang
memiliki mindset instansi menjadi korporasi. Banyak sekali tantangan internal
dalam melakukan transformasi di tubuh BUMN ini, belum lagi dari pihak eksternal
yaitu masyarakat dan pemerintah sendiri. Inti dari buku ini adalah, Kereta Api
Indonesia kini sudah berubah. Oh ya..? Sebelum menghakimi, saya harus buktiin
sendiri dong..
Tindakan
pertama saya adalah, membuktikan bahwa kini membeli tiket Kereta Api bisa sama
mudahnya dengan tiket pesawat terbang. Masuklah saya ke sebuah situs penyedia
tiket lokal dan memesan untuk perjalanan dua orang jurusan Solo Balapan.
Tinggal pilih jadwal yang tersedia, masukkan nama penumpang dan nomer identitas
sesuai dengan KTP/SIM/Kartu Pelajar. Ini untuk menjamin bahwa satu tiket untuk
satu kursi saja, dan hanya bisa digunakan oleh yang namanya tertera. Gimana
nggak mati kutu ini calo tiket..hahaha. Menariknya, dalam proses pemesanan
tiket pesawat malah tidak seketat ini lho, kita masih bisa terbang dengan
menggunakan nama orang lain. Bahkan kadang dengan jenis kelamin berbeda kita
tetap bisa melenggang masuk pesawat. Well done Pak Jon..!!
Dengan
membawa voucher tiket, datanglah saya sekitar jam 19.00 WIB di Gambir. Saya pun
langsung mencari petugas untuk menanyakan proses menukar voucher dengan tiket
asli Argo Lawu. Ternyata, di stasiun kita diarahkan untuk melakukan penukaran
sendiri (self service). Pihak stasiun telah menyiapkan sebuah komputer layar
sentuh yang besar dan terkoneksi internet lengkap dengan printer serta blangko
tiketnya. Kita tinggal masukkan kode booking serta nomer identitas yang
digunakan ketika memesan online. Maka printer akan langsung mencetak tiket,
tanpa perlu antri di loket konvensional. Begitupun ketika saya check in di Solo
Balapan. Another credit for you, Sir.
Setelah
tiket asli di tangan, kami memutuskan untuk mengisi perut sebelum perjalan
panjang sebentar lagi. Waah serasa masuk ke food court di dalam mall di Jakarta
lho. Persis deh. Selesai santap malam, waktu menunjukkan pukul 20.10 WIB, Kami
menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah warung kopi yang ada di dekat pintu
masuk stasiun. Warkop itu bernama Starbucks Coffee..hohoho. Ini baru namanya
pencitraan yang bener. Lalu bergegaslah kami menuju gerbong yang telah menanti
sejak tadi ternyata. Kereta pun akhirnya melaju tepat pukul 20.20 WIB sesuai
dengan jadwal yang tercantum di tiket. Hmmm..sepertinya Iwan Fals harus
mengubah syair lagunya nih..hehehe.
Oh iya,
untuk masuk ke dalam stasiun kita harus lolos pemeriksaan tiket dengan kartu
identitas. Bukan isapan jempol belaka rupanya. Begitu naik ke peron, saya
menemukan kondisi yang steril dari para pedagang asongan maupun pengamen dan
pengemis jalanan yang dulu sangat identik dengan stasiun. Saya lantas teringat
sebuah kisah di balik normalisasi peron yang dilakukan Jonan dan jajarannya.
Ketika proses pembongkaran lapak di stasiun Universitas Indonesia, PT KAI
mendapati perlawanan dari BEM UI serta Komnas HAM yang menentang eksekusi peron
dari pedagang kaki lima. KAI dianggap tidak manusiawi dan mematikan kehidupan
pedagang kecil.
Tapi Jonan jalan terus, baginya KAI hanya mengambil kembali
asset miliknya yang ditempati secara ilegal oleh para pedagang itu, dan masalah
relokasi adalah tanggung jawab dari pemda, bukan PT KAI. Namun BEM UI dan
Komnas HAM tidak berhenti sampai disitu, hingga akhirnya Jonan memberikan
solusi yang sangat brilian menurut saya (dan akan selalu saya ingat). Jonan
mengatakan kalau memang BEM UI dan Komnas HAM peduli dengan kehidupan para
pedagang, maka ia bersedia menampung sepertiga dari pedagang tadi, dan
menantang agar sepertiga di tampung oleh BEM UI serta sepertiga lainnya oleh
Komnas HAM..!! Adil toh..? Hahahaha..Very smart. Mafia tiket yang udah karatan
aja dibikin mati kutu, apalagi anak kemarin sore yang masih nyusu coba..?
Ada lagi
kisah lain yang menceritakan seorang mahasiswi UI yang merajuk langsung
kepadanya bahwa ia bisa kehilangan masa depan lantaran lapak jualan orang
tuanya di stasiun di bongkar oleh KAI. Tau apa jawabannya? "Kuliahmu saya
tanggung sampai selesai". Wuih..ini ibarat counter attack di injury time
dan menghasilkan gol kemenangan namanya. Solusi yang Low cost high
impact..nggak sembarang orang lho bisa kasih respon begini.
Impresi
saya yang pertama ketika masuk ke dalam gerbong eksekutif adalah, rasa nyaman
yang belum pernah saya bayangkan ada di atas kereta api negeri ini. Kursi yang
empuk, sebuah sandaran kaki (terletak di bagian depan kursi), sebuah bantal
kecil serta sehelai selimut. Cukup nyaman pikir saya untuk bisa tidur sebelum
besok langsung datang ke pameran. Sayangnya, harapan saya tidak terwujud karena
semua lampu dalam gerbong terus menyala sepanjang perjalanan.
Terlebih
lagi perut saya yang kelaparan tidak juga menemui Pramugari yang padahal sejak
awal keberangkatan rajin sekali menjajakan makanan kepada penumpang (tadinya
karena perut masih kenyang, saya berencana untuk membeli sesuatu untuk di makan
ketika tengah malam). Jadi kangen pedagang asongan..hihi. Lengkaplah sudah
penderitaan saya menjadi Jamah Al Insomniyah malam itu. Untuk masalah lampu
yang terus menyala itu, terus terang saya tidak mengerti alasan di baliknya.
Apakah karena faktor keselamatan barang-barang penumpang atau memang itu sudah
menjadi SOP. Tapi yang jelas, saya tidak bisa tidur dengan keadaan lampu
menyala.
Akhirnya,
saya baru bisa mencicipi layanan Reska (restoran kereta api) ketika perjalanan
menuju Jakarta. Saya memesan kopi hitam seharga Rp.10.000,-/cup serta nasi
goreng senilai Rp. 30.000,-/porsi. Untuk rasanya, jangan di tanya lah ya..cuma
bisa bikin perut agak sedikit penuh aja, pun demikian dengan kopinya. Oh ya,
saya tadinya sudah bersiap untuk makan dengan tangan kiri memegang piring serta
tangan kanan memegang sendok untuk menyuap. Karena saya tidak menemukan adanya
meja makan lipat di hadapan saya seperti di dalam pesawat. Eh, ternyata meja
makannya ada di bawah sandaran tangan kita lho..hehehe. Katrok banget ya saya?
:D
Selama
perjalanan ada beberapa kejadian yang menarik perhatian saya selain air toilet
yang selalu tersedia. Pertama, pintu antar gerbong kereta saat ini sudah
otomatis, artinya kita harus menekan tombol untuk membukanya dan pintu akan
menutup dengan sendirinya dengan jeda waktu beberapa detik. Nah untuk kasus
ini, rupanya masyarakat kita belum sepenuhnya teredukasi dengan teknologi yang
baru buat sebagian penumpang. Ada beberapa penumpang yang membuka secara paksa
lantaran belum mengetahui kalau pintu bisa dibuka dengan menekan tombol di
sebelah pintu.
Hal ini di perparah oleh kesalahan PT KAI yang memasang stiker
di dekat tombol, bukan di dekat handle pintu. Karena secara refleks, orang akan
menggapai handle pintu ketika akan membuka pintu. Semakin mereka sulit membuka
dengan handle, semakin keras usaha mereka untuk menutupi rasa malu di depan
umum. Sayang kan, gara-gara hal sepele pintu jadi rusak. Semoga bisa segera di
perbaiki oleh PT KAI.
Kedua,
ketika sampai di stasiun Jatinegara (kalau tidak salah) seorang petugas
(kebersihan sepertinya) menemukan bahwa penumpang di depan kursi saya
meninggalkan charger hand phone miliknya. Kontan petugas itu langsung lari
keluar dan mengejar penumpang tadi, dan saya tidak melihatnya lagi hingga pintu
gerbong menutup dan melanjutkan perjalanan menuju Gambir. Terlihat sepele
memang. Tapi saya sendiri telah mengalami dan menyaksikan sendiri dampak dari
perbuatan itu bagi perusahaan.
Saya
pernah mengalami bagaimana pihak Solaria Pejaten Village menyimpan harta benda
istri saya yang terdiri dari dua hand phone yang tertinggal sehari sebelumnya.
Terlebih mereka menolak dengan sangat halus imbalan yang berusaha kami berikan
bahkan ketika kami melipatkan nilainya. Sejak saat itu, saya akan selalu
menjadi penggemar nomer satu dari restoran itu. Sekalipun saya pernah menemui
tikus kecil berkeliaran bawah meja saya di Solaria cabang yang sama.
Contoh
lain adalah di tempat saya bekerja. Barang yang paling sering tertinggal adalah
flash disk milik pelanggan. Sering kali saya mendapati ekspresi pelanggan yang
berterima kasih secara sangat, sangat tulus. Tak jarang mereka mengirimkan
makanan kecil kemudian hari, karena kami juga dilarang keras menerima pemberian
secara langsung dari pelanggan.
Flash
disk bukan barang mahal, begitu pula dengan charger. Namun kita tidak akan
pernah tau seberapa besar nilai emosional atau historis dari benda tersebut.
Lagi-lagi, Low Cost High Impact. Akan terjadi anchoring dan naiknya trust
pelanggan terhadap brand kita. Setelah saya menyaksikan bahwa tindakan itu
dilakukan oleh jajaran terendah di KAI, barulah saya yakin kalau transformasi
telah dan sedang berlangsung di tubuh BUMN ini.
Perubahan selalu tergambar dari
tindakan, bukan sekedar slogan. Yes, Seeing is believing..and now I believe.
Maju
Terus Pak Jonan dan jajaran, Kereta Api milik negeri. Bravo KAI..!!
Sumber : Kompasiana, Oleh : Resi Asmoro, 20.03.14 / Kredit Foto : Kombinasi.
[English Free Translation]
A sharing of experiences written by a user of
rail service named Resi Asmoro and his writings published in Kompasiana some
time ago. Constructive opinions and input to a corporation by PT Kereta Api
Indonesia (Persero) are needed for future improvement.
No comments:
Post a Comment