MEDAN:
Pengamat Sosial dari Universitas Muhammdiyah Sumatera Utara
(UMSU) Shohibul Anshor Siregar mengatakan, "Sudah jelas ada aturan
jarak bangunan dengan rel KA, tapi masih ada warga yang membangun rumah dan
sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sebaiknya daerah pinggiran rel itu
dimanfaatkan sebagai lahan penghijauan, bukan tempat tinggal, dan bukan tempat
aktivitas lain seperti usaha sektor formal,” lanjut Shohibul.
Dia
juga meminta kepada warga untuk legowo, karena itu bukan hak mereka.
"Kepada warga, kita berharap agar niat baik PT KAI memberikan uang tali
asih dihargai seberapa pun nilainya.”
Sebelumnya,
warga berharap agar uang tali asih ditambah. Namun PT KAI menegaskan tidak ada
tambahan uang tali asih sebesar Rp1,5 juta itu.
"Tidak
ada penambahan, jangan berandai-andai. Itu hanya wujud terimakasih karena
masyarakat mau berkomunikasi dengan kami," ujar Manajer Humas Divre 1 Rapino Situmorang.
Uang
tali asih sebesar Rp1,5 juta per kepala keluarga itu bersumber dari pemerintah,
dalam hal ini Ditjenka. Dan itu merupakan kebijakan, bukan kewajiban yang
mengikat sesuai perundang-undangan. Pihaknya diakui Rapino, sudah menyerahkan
tali asih kepada 1.600 KK, termasuk
yang berada di kawasan Mandala By Pass.
"Sisanya
tinggal 200 KK lagi. Yang belum itu karena mereka tidak berada di tempat dan
data di KK-nya tidak sesuai," katanya.
Sumber
: Sumut Pos, 29.01.16 / Foto : MedanSatu.
[English
Free Translation]
Social
observers of North Sumatera Muhammadiyah University (UMSU) Shohibul Anshor
Siregar said, "It is clear there are rules within the building with
railroads, but still there are people who build houses and have been going on
for decades. We recommend suburban rail used as the reforestation area, not a
place to stay, and not the place of other activities such as formal sector enterprises".
Its very clear opinion.
No comments:
Post a Comment